Unsur Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian
akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan
dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian
hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan
pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.
Kepastian
hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan
sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Bahwa
dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa
tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang
ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan.
Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada pasal 28 D ayat 1
Undang-Undang
Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan
kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu
sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga
dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan
diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.
Gustav
Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, yaitu :
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa
hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan
pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh
mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada
pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav
Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam
masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.
Pendapat
mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip
oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan sebagai berikut:
1.
Tersedia
aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible),
yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2.
Bahwa
instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3.
Bahwa
mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4.
Bahwa
hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum; dan
5.
Bahwa
keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut
menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya
keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem
hukum.[1]
Menurut Sudikno Mertokusumo (2007 : 160), kepastian
hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan.[2]
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat
menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang
harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law
(1971 : 54-58) mengajukan 8 (delapan)
asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum
akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat
kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Suatu
sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2.
Peraturan
tersebut diumumkan kepada publik;
3.
Tidak
berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4.
Dibuat
dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5.
Tidak
boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6.
Tidak
boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
7.
Tidak
boleh sering diubah-ubah;
8.
Harus
ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa
harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah
memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana
hukum positif dijalankan.[3]
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu: pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.[4]
Ajaran kepastian
hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada
aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu
diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum
tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata
untuk kepastian.[5]
Mochtar Kusumaatmadja
menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal
tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.[6]
Contoh dari kepastian hukum dapat kita lihat pada
kasus Mbah Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT.
Rumpun Sari Antan 4. Di dalam persidangannya, Mbah Minah menuturkan bahwa tiga
biji kakao tersebut untuk menambah bibit tanaman kakao dikebunnya di Dusun
Sidoharjo, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Mbah Minah mengaku sudah
menanam 200 bibit pohon kakao dikebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang.
Namun belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan,
sutarno menegurnya. Mbah Minah lantas meminta maaf dan meminta sutarno untuk
membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan maafnya diterima,
manajemen PT. Rumpun Sari Antan 4 malah melaporkan Mbah Minah ke polisi. Akhirnya
Mbah Minah divonis hukuman percobaan penjara 1 bulan 15 hari.
Kalau melihat kasus Mbah Minah, dapat disimpulkan
bahwa aparat penegak hukum mengutamakan kepastian hukum dalam penegakan
hukumnya tanpa memperhatikan rasa keadilan. Penegakan hukum yang menangani
kasus Mbah Minah adalah penegakan hukum secara tekstual yang mengartikan
perbuatan Mbah Minah sebagai pencurian.
[1] Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 85.
[2] Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (DIYogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2007), hlm. 160.
[5] Achmad Ali, Menguak
Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 82-83
[6] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar
Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, hlm. 3
Komentar
Posting Komentar