Langsung ke konten utama

Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia


A.    Teori-Teori HAM
Menurut Todung Mulya Lubis[1], ada empat teori HAM yang sering dibahas dalam berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang didalamnya ada unnsur-unsur yang mengenai HAM, yaitu:
1.      Teori Hak-Hak Alami (Natural Rights Theory)
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at all times and all places by virtue of being born as human beings).[2]
Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana teori ini dapat dilihat kembali jauh pada zaman kuno yaitu filsafat Stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.[3]
Pemikiran tentang hukum kodrati berakar dari kekuatan konservatif yang ingin melindungi properti-properti tertentu dengan selimut suci. Motif tersebut diakui sebagai hak fundamental dari setiap individu dalam hidupnya. Namun uniknya dibalik sifat konservatif gagasan hukum kodrati tadi, ternyata tersimpan juga motif yang revolusioner, hal ini terbukti ketika pemikiran hukum kodrati tentang kesetaraan manusia terkandung dalam dokumen hukum di Amerika dan Perancis yang bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia.[4]
2.      Teori Positivisme (Positivist Theory)
Teori positivisme adalah teori yang berpendapat bahwa hak harus tertuang dalam wujud yang nyata, misalnya dalam bentuk peraturan atau jaminan konstitusi. Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat dan tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.[5]
3.      Teori Universalisme
Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral.[6]  Universalisme moral meletakkan keberadaan keneran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait drengan tulisan-tulisan  Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics,  secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkandalam serankaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sitem hukum yang sebenarnya “ buatan manusia”. Oleh karena itu, kriteria untuk menentukan suatu sistem  keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum manusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk da nisi dari keadlian yang almiah pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang didasarkan pada diidentifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita atas  miliki. Oleh sebab itu hak alamiah diperlakukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nila-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun. Pendapat ini didukungoleh filsuf abad ke- 17, John Locke yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government (1668). Intisari pandangan John Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak- hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka.[7]
            Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tak bisa dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Sedangkan dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adala sebuah unit sosial. Doktrin relativisme budaya telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya.

4.      Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)
Teori relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.
Relatif berarti, ”tidak mutlak, nisbi”.  Relativisme berarti, “pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas”. Teori Relativisme Budaya memandang Hak Asasi Manusia berbeda-beda, terbatas pada wilayah tempat tinggal dan kebudayaan. Apa yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat belum tentu menjadi hak bagi kelompok masyarakat yang lain. Perbedaan persepsi tentang hak ini didukung juga oleh Todung Mulya Lubis yang menyebutkan, “Perbedaan-perbedaan tradisi budaya di antara masyarakat menyebabkan perbedaan-perbedaan pula pada pemikiran dan persepsi tentang manusia, termasuk dalam hal hak asasi manusia.”[8] Teori relativisme budaya berseberangan dengan teori universalisme yang memandang bahwa setiap manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang sama.
Joshua Preiss, seorang profesor filosofi dari Minnesota State University, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar, menyebutkan karakter dari teori relativisme budaya, antara lain:
a)         Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula;
b)         Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial yang satu lebih baik    dari yang lain;
c)         Kode moral dari masyarakat kita tidak memiliki status yang lebih baik, tapi hanyalah sebagai salah satu kode yang ada;
d)        Tidak ada kebenaran universal dalam etika yakni tiada kebenaran moral yang berlaku bagi semua orang pada tiap waktu;
e)         Kode moral dari sebuah budaya hanya berlaku dalam lingkungan budaya tersebut; dan
f)          Adalah sebuah arogansi ketika kita mencoba menghakimi tindakan orang lain. Kita harus bersikap toleran terhadap berbagai praktik yang hidup di berbagai kebudayaan.[9]
B.     Prinsip-Prinsip HAM
Jika kita berbicara tentang HAM maka ada beberapa prinsip yang harus kita taati, yaitu:
1.      Prinsip Kesetaraan (Equality)
Setiap manusia yang lahir kedunia selalu memiliki hak yang sama. Semua manusia terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia sesuai dengan Pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa: “setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”. Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak juga menyangkut kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan, merupakan hak yang dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula antara yang satu dengan yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting dalam negara hukum, adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk memperoleh keadilan dalam bentuk perlakuan dalam proses peradilan.
Kesetaraan dianggap sebagai prinsip hak asasi manusia yang sangat fundamental. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi misalnya, kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan dalam akses pendidikan dan lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia.[10]
Semua orang lahir di dunia dengan hak asasi yang setara tidak ada yang membedakan dari segi haknya, baik itu terlahir dari suku maupun ras yang berbeda, namun tetap setara. Prinsip kesetaraan merupakan prinsip yang mengartikan bahwa semua hak dan kewajiban manusia di mata hukum itu sama. Tidak ada hal- hal yang dapat membedakannya. Contohnya : Pak Hery adalah seorang pengusaha besar dan Pak Tono seorang petani, mereka melakukan kesalahan yang sama maka mereka mendapatkan hukuman yang sama pula.
2.      Prinsip Non Diskriminasi (Non Discrimination)
Pelarangan terhadap diskriminasi atau non diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan alternatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan) dan pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama atau setara.
Prinsip ini kemudian menjadi sangat penting dalam hak asasi manusia. Dalam hal ini, diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu:
a)         Diskriminasi  langsung yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda dari pada yang lainnya (less favourable).
b)         Diskriminasi tidak langsung yaitu ketika dampak praktis dari hukum atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas mempengaruhi lebih kepada perempuan daripada laki-laki.
Pemahaman diskriminasi kemudian meluas dengan dimunculkannya indikator diskriminasi yaitu berbasis kepada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau opini lainnya, nasionalis atau kebangsaan, kepemilikian atas suatu benda (property), status kelahiran dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk didalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.[11]
3.      Prinsip Kewajiban Positif Negara
Prinsip kewajiban positif negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Menurut hak asasi internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Untuk kebebasan berekspresi sebuah negara boleh memberikan kebebasan dan sedikit memberikan pembatasan. Untuk hak hidup negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif,  negara wajib membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat diterima oleh negara. Karena alasan inilah, negara membuat aturan hukum untuk mengatur agar hak hidup itu dihormati.[12]



 [1] Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights; Legal Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 14-25
 [2] Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, hlm. 32
 [3] Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi, hlm. 12
 [4] Antonius Cahyadi dan E Fernando M Manulang, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 42
 [5] John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), (Cambridge: Cambridge University, 1995), first published, 1832, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, hlm. 33.
 [6] Ifdhal Kasim, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII 2008), hlm. 19

 [7] Ifdhal Kasim, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII 2008), hlm. 19
 [8] Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Right: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990,  (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta), hlm. 15
 [9] Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR Press, 2010), hlm. 151
 [10] Eva Brems, Human Rights: Universality and Diversity, (London: Marrtinus Nijhoff Publishers,2001), hlm. 14, dalam Eko Riyadi, dkk., Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, hlm. 14
 [11] Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi, hlm. 39-40
 [12] Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, hlm. 37-38

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...