Langsung ke konten utama

Tujuan Hukum (Keadilan)


Menurut Gustav Radbruch ada tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan hukum harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan hukumm. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan hukum menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. 
Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi orang tertentu terpaksa harus dikorbankan. 

Unsur Keadilan Dalam Hukum 

Seperti halnya pertanyaan “apa itu Hukum?”, keadilan juga memiliki pengertian yang amat luas. Berbicara mengenai keadilan berarti sudah masuk ke wilayah cita yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling dalam.
 Menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Plato menyatakan: “ Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues”. Para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebajikan individual (individual virtue). [1]Oleh karena itu dalam Institute of Justinian, diberikanlah definisi keadilan yang sangat terkenal itu, yang mengartikan kadilan sebagai suatu tujuan yang kontinyu dan konstan untuk memberikan kepada setiap orang haknya. “Justice is the constant and continual purpose which gives to everyone his own”. [2]
Pendapat lain dikemukakan oleh John Rawls yang menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Senada dengan pendapat-pendapat tersebut Gustav Radbruch mengemukakan bahwa tujuan hukum ialah keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Kemudian menurutnya jika  terjadi benturan antara keadilan dengan kemanfaatan, keadilan dengan kepastian, dan kemanfaatan dengan kepastian maka digunakanlah assas prioritas dimana keadilan lah yang di utamakan baru kemudian di ikuti kemanfaatan dan kepastian. [3]
Pendapat lain tentang keadilan dikemukakan oleh Aristoteles dalam “nicomachean ethics”, Aristoteles berpandangan bahwa “hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief adalah keadilan dengan cara memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. [4]
Perkembangan pemikiran tentang keadilan terus berlanjut sesuai dengan perkembangan pemikiran tentang hukum sepanjang masa. keadilan dalam perspektif  praktik hukum menggunakan istilah substantif dan prosedural. Adapun komponen keadilan substantif menyangkut hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan keadilan prosedural komponennya menyangkut prosedural di pengadilan (hukum acara) dan prosedural secara materiil (hukum materiil). Bagi keadilan prosedural adalah keadilan yang mengacu pada teks suatu ketentuan secara utuh sepanjang bunyi ketentuan terwujud maka terwujudlah keadilan prosedural. Sementara keadilan subtanstif adalah keadilan yang berpegang pada kebenaran yang bersumber dari nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama didepan hukum. Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menjadi haknya. Keadilan dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada norma-norma, baik norma agama maupun norma hukum. 

Menurut L.J.van Apeldorn bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Asas keadilan tidak menjadikan persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.[5] 
Menurut W.J.S Poerwadinata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak berat sebelah (tidak memihak). Dapat diuraikan lebih rinci lagi bahwa adil itu dengan tidak berat sebelah. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada kita.
Sedangkan Kahar Mansur mengemukakan ada tiga hal yang dinamakan adil:
1.      "Adil" ialah meletakan sesuatu pada tempatnya.
2.      "Adil" ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
3.      "Adil" ialah: memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.[6]
Keadilan sosial menurut John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.[7]
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini akan terjadi apabila dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Jadi Teori Keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
1.      Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2.      Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3.      Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelaahiran dan kekayaan.
John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: Pertama, memberikan hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun bagi yang kurang beruntung.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-keuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[8]
Contoh kasus pada keadilan hukum ialah kasus pidana anak yang terjadi di Blitar pada tanggal 20 Mei 2014, yang pada peristiwa tersebut terdapat 3 terdakwa yang masih berumur 17 tahun dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan korban LDS yang masih berusia 14 tahun. Sebelum disetubuhi, korban terlebih dahulu diberikan minuman keras, kemudian setelah korban tidak sadarkan diri para terdakwa menyetubuhi korban secara bergantian. Hakim menghukum terdakwa S, FY, dan MS dengan hukuman yang sama rata, walaupun pada saat persidangan berlangsung salah satu terdakwa MS tidak mengakui perbuatannya dan hakim menolak pledoi dari penasihat hukum MS yang di mana berisi meminta hakim untuk membebaskan terdakwa MS dari segala tuntunan JPU. Apabila pledoi ini diterima oleh hakim, maka akan mencederai rasa keadilan bagi terdakwa yang lain dan juga terdakwa bagi korban.


[1] Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 52.

[2] Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 53
[3] Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hlm.95
[4]  Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal 11-12
[5] L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 11
[6] Kahar Mansyur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hlm 71.
[7] Teori Keadilan Sosial ala John Rawls, A Theory of Justice, Publisher: Belk n ap Press, 1999.
[8] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hlm. 239

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...