Langsung ke konten utama

Mediasi dalam Peradilan Agama



A.    Pengertian Mediasi
Menurut Pasal 1 PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.(Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2016). Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak secara langsung maupun melalui lembaga mediasi, mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.[1] Mediator tidak memiliki kewenangan dan peran menentukan dalam kaitannya dengan isi persengketaan, ia hanya menjaga bagaimana proses mediasi dapat berjalan, sehingga menghasilkan kesepakatan (agreement) dari para pihak.[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diveri arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.[3] Pengertian menurut KBBI ni memiliki tiga unsur penting yaitu :
1.      Mediasi merupakan prosses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih.
2.      Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa.
3.      Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki karakteristik atau unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan perundingan.
2.      Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
3.      Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
4.      Mediator bersifat pasif dan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa, sehingga tidak terlibat dalam menyusun dan merumuskan rancangan atau proposal kesepakatan.
5.      Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
6.      Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain:
1.      Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase.
2.      Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hakhak hukumnya.
3.      Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4.      Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.
5.      Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.
6.      Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.
7.      Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.
B.     Dasar Hukum Mediasi
1.      Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.
2.      HIR Pasal 130 (HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv)
3.      UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3 Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115,, 131 ayat (2), 143 ayat (1) dan (2), dan 144.29
4.      Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).
5.      Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6.      Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
7.      Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
8.      Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016

C.    Tata Cara Mediasi di Peradilan Agama
1.      Kehadiran Para Pihak Berperkara
Apabila dua pihak yang berperkara hadir, atau apabila para pihak berperkara lebih  dari satu  dan ada diantaranya yang  tidak  hadir,  setelah para pihak dipanggil secara sah dan patut dipersidangan maka Hakim  pemeriksa  perkara wajib menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak meliputi pengertian dan manfaat mediasi, kewajiban para pihak untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi, biaya yang mungkin timbul akibat penggunaan mediator non hakim dan bukan pegawai pengadilan, pilihan untuk menindaklanjuti kesepakatan perdamaian melalui akta perdamaian atau pencabutan gugatan dan selanjutnya menyerahkan formulir penjelasan mediasi kepada para pihak untuk ditandatangani (Pasal 17).[4]
Selanjutnya pihak berperkara dapat memilih mediator yang terdaftar di Pengadilan Agama setempat paling lama dua hari berikutnya dan dilaporkan kepada hakim pemeriksa perkara, apabila pihak berperkara tidak dapat bersepakat memilih mediator maka Ketua Majelis segera menunjuk Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan, selanjutnya Ketua Majelis menerbitkan penetapan yang memuat perintah untuk melakukan mediasi dan menunjuk mediator dan Panitera Pengganti segera memberitahukan penetapan tersebut kepada mediator. (Pasal 19-20).
Setelah penetapan mediator disampaikan kepada mediator yang telah ditunjuk, maka selanjutnya proses mediasi beralih kepada mediator.
2.      Mediator
Salah satu perubahan penting yang diatur Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 mengenai siapa saja yang dapat menjadi mediator di Pengadilan Agama, adalah diperbolehkannya Pegawai Pengadilan Agama untuk menjadi mediator selama pegawai tersebut memiliki sertifikat mediator.
Pada dasarnya setiap mediator baik Hakim maupun non hakim harus memiliki sertifikat sebagai mediator akan tetapi dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 khusus mediator hakim dapat dikecualikan apabila tidak ada mediator bersertifikat atau terdapat keterbatasan jumlah mediator bersertifikat.
3.      Proses Mediasi
Mediator yang ditunjuk menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi, dan apabila mediasi dilakukan di gedung Pengadilan Agama maka mediator melakukan pemanggilan para pihak dengan bantuan jurusita atau jurusita pengganti.
Para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Apabila salah satu pihak tidak hadir sebanyak dua kali tanpa alasan yang sah setelah dipanggil untuk menghadiri mediasi maka pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik, dengan akibat hukum apabila yang tidak beritikad baik adalah Pihak Penggugat maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim pemeriksa perkara dan dikenai biaya mediasi, dan bila yang tidak beritikad baik adalah Pihak Tergugat maka dikenai kewajiban membayar biaya mediasi;[5]
Para pihak juga dapat dinyatakan tidak beritikad baik dengan alasan sebagai berikut:
a.       Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
b.      Menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak  mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau
c.       Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.
Paling lambat lima hari setelah penetapan penunjukkan mediator pihak berperkara menyerahkan resume perkara kepada mediator dan pihak lawan, selanjutnya mediasi dilaksanakan selama 30 hari kerja dan atas dasar kesepakatan para pihak jangka waktu mediasi dapat diperpanjang selama 30 hari kerja dengan cara mediator mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu mediasi kepada hakim pemeriksa perkara disertai dengan alasannya (Pasal 24).
Materi mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum gugatan saja, dan bila tercapai kesepakatan diluar petitum gugatan maka penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan (Pasal 25). Mediasi juga dapat melibatkan ahli dan tokoh masyarakat dengan disepakati terlebih dahulu apakah penjelasan dan atau penilaian ahli dan tokoh masyarakat tersebut bersifat mengikat atau tidak (Pasal 26).
Mediator dalam menjalankan fungsinya harus melaksanakan langkah-langkah sebagaimana tersebut pada Pasal 14 PERMA Nomor 1 tahun 2016 sebagai berikut:
a.       Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada Para Pihak untuk saling memperkenalkan diri;
b.      Menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat Mediasi kepada Para Pihak;
c.       Menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;
d.      Membuat aturan pelaksanaan Mediasi bersama Para Pihak;
e.       Menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
f.       Menyusun jadwal Mediasi bersama Para Pihak;
g.      Mengisi formulir jadwal mediasi;
h.      Memberikan kesempatan  kepada Para Pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian;
i.        Menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan  pembahasan berdasarkan skala proritas;
j.        Memfasilitasi dan mendorong Para Pihak untuk:
1)      Menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak;
2)      Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak;
3)      Bekerja sama mencapai penyelesaian;
k.      Membantu Para Pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian;
l.        Menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara;
m.    Menyatakan salah satu atau Para Pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan kepada Hakim Pemeriksa Perkara;
Tugas mediator berakhir dengan menyampaikan laporan hasil mediasi kepada hakim pemeriksa perkara.
4.      Laporan Mediasi
a.       Mediasi Berhasil
Mediasi dinyatakan berhasil apabila tercapai kesepakatan antara pihak berperkara dan dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani para pihak dan mediator. Kesepakatan Perdamaian tidak boleh memuat ketentuan yang:[6]
1)      bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;
2)      merugikan pihak ketiga; atau
3)      tidak dapat dilaksanakan.
Kesepakatan perdamaian tersebut dapat dikuatkan dalam akta perdamaian dan jika tidak menghendaki dikuatkan dalam akta perdamaian maka kesepakatan perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan, selanjutnya Mediator membuat laporan keberhasilan mediasi dengan melampirkan kesepakatan perdamaian (Pasal 27).
Apabila pihak berperkara lebih dari satu maka Kesepakatan perdamaian dapat terjadi antara Penggugat dengan sebagian Tergugat, dengan mengubah gugatan dan tidak lagi mengajukan Tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak. Penggugat dapat mengajukan kembali gugatan baru terhadap Tergugat yang tidak mencapai kesepakatan (Pasal 29). Selain kesepakatan antara Penggugat dengan sebagian Tergugat, kesepakatan juga dapat terjadi atas sebagian objek sengketa, dan terhadap objek sengketa yang tidak tercapai kesepakatan akan dilanjutkan pemeriksaannya oleh Hakim pemeriksa perkara (Pasal 30).
Untuk perkara perceraian yang tuntutan perceraian dikumulasikan dengan tuntutan lainnya, jika Para Pihak tidak mencapai kesepakatan untuk hidup rukun kembali, Mediasi dilanjutkan dengan tuntutan lainnya. Dan jika tercapai kesepakatan atas tuntutan lainnya, kesepakatan dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian Sebagian dengan memuat klausula keterkaitannya dengan perkara perceraian, dimana kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan jika putusan Hakim Pemeriksa Perkara yang mengabulkan gugatan perceraian telah berkekuatan hukum tetap. Kesepakatan tersebut tidak berlaku jika Hakim Pemeriksa Perkara menolak gugatan cerai atau Para Pihak bersedia rukun kembali selama proses pemeriksaan perkara.
b.      Mediasi Tidak Berhasil
Mediasi dinyatakan tidak berhasil apabila Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya atau apabila Para Pihak dinyatakan tidak beritikad baik karena tidak mengajukan dan atau tidak menanggapi resume perkara pihak lain atau tidak mau menandatangani konsep kesepakatan perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan yang sah (Pasal 32).
c.       Mediasi Tidak Dapat Dilaksanakan
Mediasi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan, apabila perkara tersebut melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak diikutsertakan sebagai pihak, atau diikutsertakan sebagai pihak tetapi tidak hadir di persidangan sehingga tidak menjadi pihak dalam proses Mediasi atau diikutsertakan sebagai pihak dan hadir di persidangan, tetapi tidak pernah hadir dalam proses Mediasi.
Mediasi juga dinyatakan tidak dapat dilaksanakan apabila melibatkan wewenang kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat/daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang tidak menjadi pihak berperkara, kecuali pihak berperkara yang terkait dengan pihak-pihak tersebut telah memperoleh persetujuan tertulis dari kementerian/lembaga/instansi dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah untuk mengambil keputusan dalam proses Mediasi.
Apabila Para Pihak dinyatakan tidak beritikad baik oleh mediator karena ketidakhadirannya dalam proses mediasi maka mediasi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan (Pasal 32).
5.       Biaya Mediasi
Secara umum ada dua macam biaya yang timbul akibat proses mediasi yaitu biaya jasa mediator dan biaya pemanggilan para pihak. Jasa mediator dari hakim dan pegawai pengadilan tidak dikenakan biaya, sedangkan jasa mediator non hakim dan non pegawai pengadilan ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan para pihak (Pasal 8);[7]
Adapun biaya pemanggilan para pihak dibebankan terlebih dahulu kepada Penggugat melalui panjar biaya perkara, dan apabila mediasi mencapai kesepakatan maka biaya mediasi ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak, apabila mediasi tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan maka biaya mediasi dibebankan kepada pihak yang kalah. Dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama biaya mediasi dibebankan kepada Pemohon atau Penggugat (Pasal 9), kecuali apabila mediasi tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan karena Termohon/Tergugat tidak beritikad baik maka biaya mediasi dibebankan kepada Termohon/Tergugat (Pasal 23 ayat 6).
Dalam hal pihak Penggugat dinyatakan tidak beritikad baik maka biaya mediasi dibebankan kepada Penggugat yang pembayarannya diambil dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri oleh Penggugat (Pasal 22 ayat 2), begitu pula apabila pihak Tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik maka biaya mediasi dibebankan kepada Tergugat dan pembayarannya mengikuti pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 23 ayat 1 dan 7).
Apabila ada biaya lain di luar biaya jasa mediator dan pemanggilan para pihak, maka biaya tersebut dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.
Prosedur mediasi di Pengadilan Agama tidak berbeda dengan prosedur mediasi di pengadilan lannya, semua mengacu pada PERMA No. 1 Tahun 2016, yang tidak jauh berbeda dengan ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008, sehingga prosedur yang  dipaparkan oleh pemakalah  merupakan prosedur  mediasi  yeng  mengacu pada PERMA No. 8 Tahun 2008.
D.    Perkara yang dapat dilakukan Mediasi di Peradilan Agama
Pada dasarnya setiap sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Agama termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusanverstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 4 ayat (2) PERMA Nomor 1 tahun 2016 ada beberapa sengketa perdata yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi sebagai berikut:
1.      Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundangundangan (seperti permohonan pembatalan putusan arbitrase);
2.      Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
3.      Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
4.      Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
5.      Sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama setelah diupayakanpenyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.
Meskipun sengketa sebagaimana tersebut di atas dikecualikan dari kewajiban Mediasi, akan tetapi berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa sebagaimana tersebut pada angka a, c dan e tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi secara sukarela pada tahap pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama dan tahap upaya hukum di Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung.[8]


[1] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 91.
[2] Syahrial Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 6-7.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 569.
[4] Mashuri, Mediasi Di Pengadilan Agama Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
[5] Mashuri, Mediasi Di Pengadilan Agama Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
[6] Mashuri, Mediasi Di Pengadilan Agama Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
[7] Mashuri, Mediasi Di Pengadilan Agama Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
[8] Mashuri, Mediasi Di Pengadilan Agama Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...