“The Object of a scientific inquiry is
discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.
Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan
bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis.
Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana
dinyatakan oleh Neil MacCormick, “…legal
reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by
humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in
situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical)
seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan
dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).
Berpikir
aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang
tidak diragukan, melalui mata rantai yang beragu-ragu, sampai kepada kesimpulan
yang mengikat (konklusif). Selanjutnya, melalui mata rantai yang bebas-ragu
dijabarkan aksioma itu kedalam suatu keseluruhan putusan yang detail. Tipe argumentasi
ini mencerminkan usaha yang sudah tertanam dalam pikiran manusia. Dalam hal ini
diusahakan untuk menemukan landasan dan pembenaran atas suatu pendapat, dan
diusahakan juga kesatuan, kesalingterkaitan, kebertatanan (stelselmatigheid). Berpikir probelmatis adalah berpikir dalam
suasana yang didalamnya tidak ditemukan kebenaran bebas-ragu. Dalam pertentangan
pendapat menurut tipe argumentasi ini. Masalahnya bergeser dari hal menentukan “apa
konklusif” menjadi “apa yang paling dapat diterima” (acceptable;plausible). Untuk itu lalu diajukan alas an-alasan untuk
mendukung pendapat tertentu yang kekuatannya diuji dalam diskusi.
Uraian
diatas mengawali suatu deskripsi yang agak panjang lebar tentang berbagai aspek
seputar karakteristik penalaran hukum. Sekalipun demikian, penalaran hukum
tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan
bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas dari
putusannya dengan mengacu kepada system hukum positif. Demi kepastian hukum,
argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga
putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain
dalam mengadili kasus serupa) relative terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan
ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi
dalam penalaran hukum sebagai “berpikir problematical tersistematisasi” (gesytematiseerd probleemdenken).
Term
“subjek hukum” perlu diberi aksentuasi tersendiri, karena menunjukan bahwa
kegiatan berpikir ini adalah aktivitas terfokus yang hanya menyoroti problema
yang relevan dengan kepentingan (kedudukan dan peranan) para subjek hukum,
bukan sebagai subjek dalam konteks lain. Artinya, problema hukum adalah
problema kepentingan manusia sebagai makhluk berbudaya. Pada dasrnya semua subjek hukum mempu
melakukan penalaran hukum ini, namun aktivitas yang terfokus seperti itu secara
intens merupakan ladang bergelut para pengemban hukum, lebih khusus lagi disini
adalah para hakim sebagai pengambil keputusan (legal decision maker) untuk kasus-kasus konkret di lembaga
yudikatif. Kendati begitu, mengingat kedudukan dan peranan pembentuk
undang-undang (pengemban hukum di lembaga legislative) juga menonjol, terutama
di Negara-negara yang berada di jajaran keluarga civil law seperti halnya
Indonesia, maka penalaran hukum dalam proses pembentukan hukum pun akan
mendapatkan porsi bahasan tersendiri.
Sumber
Juduk Buku : Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Penulis : Shidarta
Penerbit : GENTA Publlishing
Juduk Buku : Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Penulis : Shidarta
Penerbit : GENTA Publlishing
Komentar
Posting Komentar