Langsung ke konten utama

Perusahaan Negara



 A.Pengertian Perusahaan Negara
Konsep BUMN telah dirumuskan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 740/KMK.00/1989. Dalam konsep itu, BUMN didefenisikan sebagai “badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara” (pasal 1 ayat 2a).
Sementara dalam pasal 1 ayat 2b dari surat keputusan itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah
2.      BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya.
3.      BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/ asing dimana negara memiliki saham mayoritas minimal 51%.[1]
Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah seluruh bentuk usaha negara yang modal seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh negara/pemerintah dan dipisahkan dari kekayaan negara.  Pengertian itu diperkuat lagi oleh

 Menurut Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dalam pasal 1 tentang  Ketentuan Umum menjelaskan  bahwa yang dimaksud BUMN adalah badan  usaha yang  seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. [2]
Menurut DR.Akadun, arti kekayaan negara yang dipisahkan  adalah pemisahan  kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara  pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya di dasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.


1)      Pengalihan Ketiga Bentuk Perusahaan Negara
Meskipun telah ditentukan norma-norma dari tiga bentuk usaha negara tersebut, seperti ketentuan dasar hukum yang diberikan, namun masih dirasakan ada kesulitan tentang penentuan ciri pengukuran dari perusahaan negara yang telah ada (maupun mungkin yang akan berdiri/sedang di dirikan) yang variasinya sangat beragam. Inpres No. 17 Tahun 1967 pun mengakui keadaan ini, sebagaimana yang dikemukakan dalam konsiderasinya bahwa menurut kenyataan waktu itu, terdapat banyak sekali perbedaan dalam bentuk, status hukum, struktur organisasi, sistem kepegawaian, administrasi keuangan, dan lain-lain dari perusahaan negara. Kenyataan ini pulalah yang dirasakan oleh berbagai tim/panitia negara yang bertugas untuk menyederhanakan perusahaan negara yang ada, khususnya untuk mengalihkan ke dalam tiga bentuk terakhir itu.
Permasalahan yang dirasakan berikutnya berkisar pada pertanyaan: sudahkah masing-masing perusahaan negara itu berciri utuh seperti salah satu dari tiga bentuk usaha negara yang diinginkan? Kemudian apabila atau belum atau misal kenyataannya berciri campuran, akan dianggap dan di perhitungkan sebagai ciri manakah perusahaaan negara yang bersangkutan? Bagaimanakah memberikan kriteria baru pada perusahaan negara yang menjadi persoalan itu? Sudah tentu kesulitan timbul oleh karena tidak di mungkinkan untuk mengintroduksi kriteria-kriteria lain.
Permasalahan-permasalahan ini diajukan kepada perusahaan negara yang ada oleh tim yang bersangkutan dalam proses pengalihannya. Sebagai misal, pertanyaan untuk penilaian yang diajukan kepada perusahaan negara yang akan dijadikan persero berkisar diantara topic-topik:
A.    Kemampuan perusahaan negara yang bersangkutan memperoleh keuntungan (rentabilitas, likuiditas, prospek kegiatan usaha, sumber pembelanjaan)
B.     Kemampuan perusahaan negara yang bersangkutan untuk menjamin keutuhan kekayaan (control intern yang efektif, administrasi yang sejalan dengan neraca dan perkiraan rugi/laba selesai pada waktunya, control ektern yang objektif, penilaian aktifa yang wajar)


C.     Kemampuan perusahaan negara yang bersangkutan untuk menyehatkan organisasinya, terutama yang menyangkut personil. Walaupun demikian, akhirnya kesulitan mesti timbul sebab bagaimana tim akan tahu senyatanya bahwa posisi dan keadaannya adalah benar-benar sedemikian dan terjaminkan bahwa data yang diperoleh adalah benar terpercaya? Tentu, akhirnya faktor subjektivitas dari baik yang berwenang untuk menentukan penilaiannya dengan maksud pengalihan ini maupun pejabat-pejabat/pemimpin perusahaan negara yang bersangkutan sedikit banyak akan menonjol.
Oleh karena luasnya bidang kerja tim/panitia negara yang bertugas kearah penyelesaian persoalan ini, maka sampai juni 1972, ternyata bukan saja semua perusahaan negara yang dapat dialihkan kedalam salah satu bentuk dari 3 bentuk usaha negara itu, tetapi bahkan ada beberapa perusahaan negara yang sampai belum sempat diteliti oleh tim yang bersangkutan, belum lagi dai dalam memikirkan perusahaan negara yang dibentuk/telah berdiri baru. Kemudian, masih terasanya beberapa kelambatan di dalam procedural juridisnya bagi perusahaan negara yang sudah berstatus pasti untuk diberi dasar hukum pengalihannya (pembubaran/likuidasi dan dasar hukumnya yang baru) oleh peraturan pemerintah, selanjutnya mungkin saja dengan undang-undang.[3]


2)      Kedudukan Perusahaan Negara
Berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 1969 (yang kemudia disahkan menjadi UU No. 9 Tahun 1969), ketiga bentuk perusahaan negara diberilkan bentuk hukum yang berbeda-beda. Dengan dengan demikian pengaturan sealanjutnya, baik mengenai struktur organisasinya, hubungan pertanggung jawaban, hierarki, dan sebagainya yang menyangkut kedudukannya dapat dilakukan. Juga mengenai hal-hal lainnya, seperti personil, permodalan, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan soal kedudukan perusahaan negara menurut 3 bentuk tersebut,yaitu:





a.       Perjan (Departmental Agency)
Perusahaan negara bentuk ini didasari oleh landasan hukum Inpres No. 17 Tahun 1967, UU No. 9 Tahun 1969 (yang dipergunakan lagi IBW dan ICW sepanjang tidak bertentangan dengan IBW semula). Berkedudukan ditingkat jawatan serendah-rendahnya sama dengan tingkat direktorat; dipimpin oleh seorang kepala jawatan yang kemudian melalui dierktur utama bertanggung jawab kepada menteri/dirjen yang bersangkutan ; dan melakukan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas perusahaan sekaligus yang tercermin dalam struktur organisasi departemennya.
b.      Perum (Public Corporation)
Perusahaan Umum atau angisa diseebut perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, dengan tujuan untuk keepentingan umum berupa penyediaan barang sekaligus mencari keuntungan[4]. Selain itu, perusahaan negara bentuk ini bergerak di bidang yang oleh pemerintah dianggap vital, yang pada umumnya menjalankan tugas perusahaan. Akan tetapi, perum dapat pula dibebani tugas pemerintah (dalam hal ini tugas pemerintah dalam lingkup fungsi departemennya serendah-rendahnya yang berada pada tingkat direktorat) sehingga pada departemen tidak ada unit organisasi yang menjalankan tugas pemerintahan yang telah diserahkan kepada perum perusahaan negara dalam bentuk ini dipimpin oleh direksi, sedangkan untuk perum otoritas dipimpin oleh general manager, yang kesemuanya bertanggung jawab kepada menteri yang bersangkutan.[5]
tujuan dari perum adalah:
-          Memberikan sumbangan agi perkemangan ekonomi nasional
-          Mengejar keuntungan
-          Menyelenggarakan kemnfaatan mum
-          Menjadi perintis kegiatan usaha yang elum dapat dilakukan pihak swasta dan koperasi[6]



c.       Persero (public Company)
Perusahaan negara bentuk persero didasari oleh Inpres No. 17 Tahun 1967, UU No. 9 Tahun 1969, PP No. 12 Tahun 1969, KUHP Perdata (KUHP), dan peraturan-peraturan lainnya serta akta pendiriannya masing-masing. Persero berkedudukan sebagai perusahaan biasa (dilakukan oleh swasta) dan yang bukan semata-mata menjadi tugas pemerintah; dipimpin oleh direksi, dibawah pengawasan dewan komisaris yang masing-masing bertanggunga jawab kepada RUPS Negara selaku pemegang saham diwakili oleh menteri keuangan.
Kalau sebelumnya telah diatur pertanggung jawaban dari kepala jawatan/direktur utama (untuk perjan) dari direksi/general manager (untuk perum/perum otorita) kepada menteri/dirjen yang bersangkutan, namun masih dapat dipersoalkan, pertanggung jawaban ini merupakan pertanggung jawaban yang bagaimana, isinya tentang apa dan seberapa jauh batas-batas pertanggungjawaban itu? Disamping itu, masih dapat diketengahkan beberapa kemungkinan persoalan yang sejenis dengan ini; perbedaan letak wewenang dan akibat pertanggungjawaban antara dirjen yang membawahi perusahaan negara yang bersangkutan dengan pimpinan perusahaan negara termaksud. Sebagai contoh dapat dipertanyakan bagaimana pertanggungjawaban antara dirut perusahaan negara/perum listrik negara terhadap Menteri PUTL pada waktu itu dan pertanggungjawaban dirjen gas dan listrik (Gatrik) terhadap menteri yang sama.


[1] Akadun M.Pd, Administrasi Perusahaan Negara, (Bandung: Alfabeta2007), hlm 123

[2] Zainal Asikin, Hukum Organisasi Perusahaan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016),hlm 161

[3] Pariata Westra, Perusahaan Negara,( Jogya: Gajah Mada University,2002), hlm 59-62

[4] Zainal Asikin, op.cit. hlm 161
[5] Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Dalam Peraturan Perundang undangan,(Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hlm. 201

[6] Zainal Asikin, op.cit. hlm 167

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...