Langsung ke konten utama

Presidential Treshold


Dalam Bahasa hukum tidak dijelaskan terminologi dari istilah Presidential Threshold. Kamus besar Bahasa inggris dan Bahasa Indonesia dapat membantu menerjemahkan istilah presidential threshold. Istilah presidential berasal dari kata president, dimana kamus Black Law memberikan definisi yaitu kepala eksekutif dari suatu bangsa khususnya pada pemerintahan yang berbentuk demokrasi.  Lebih lanjut, threshold berasal dari Bahasa Inggris yaitu ambang pintu atau ambang batas, dimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ambang batas sebagai tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi ( Raditya, 2013:4)
Dalam Pemilu di Indonesia, kata Presidential Treshold dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi acuan Pemilu 2019. Terdapat beberapa point penting yang tercantum dalam UU tersebut, salah satunya adalah pengaturan mengenai Presidential Threshold. Presidential Threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden. Dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, menyatakan:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Ambang batas itulah yang akan dijadikan syarat untuk mengajukan calon Presiden pada Pemilu masal 2019. Perlu dicatat bahwa syarat Pilpres 2019 menggunakan ambang batas Pemilu tahun 2014.[1] Dengan ketentuan Pasal 222 tersebut, dapat dipahami bahwa hanya partai yang memiliki perolehan suara minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional. Namun jika tidak memiliki suara sampai pada ambang batas tersebut, maka mau tidak mau partai-partai politik harus berkoalisi untuk memenuhi ambang batas agar dapat mencalonkan Presiden dan Wakilnya, sehingga terpenuhi syarat minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional. Hal ini dibenarkan berdasarkan Pasal 222 ini, dan juga Pasal 223 poin (2) UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatakan: “Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.”
Dalam naskah akademik rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum, dikatakan bahwa alasan diadakannya ambang batas, yang dalam hal ini Presidential Threshold, bertujuan untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensial atau membentuk sistem pemerintahan Presidensial yang efektif.[2] Sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil. Dengan tetap diberlakukannya aturan ambang batas di Pemilu 2019 diharapkan dapat semakin mengokohkan sistem Presidensiil yang dianut Indonesia.
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengaturan ambang batas (Threshold) merupakan mekanisme yang niscaya digunakan dalam system Presidensial dengan multi partai. Presiden membutuhkan dukungan mayoritas diparlemen. Tanpa dukungan mutlak, Presiden sangat mungkin menjadi kurang decisive dalam upaya menggerakkan jalannya pemerintahan dan pembangunan sehari-hari. Dengan adanya sistem Threshold ini, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjamin penyederhanaan jumlah partai politik dimasa yang akan datang. Makin tinggi angka ambang batas, diasumsikan makin cepat pula upaya mencapai kesederhanaan jumlah partai politik.[3]


[1] Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 menentukan bahwa hanya partai politik Peserta Pemilu yang memilikikursi sekurang kurangnya 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh suara sekurangkurangnya 25%dari jumlah suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. UU ini menjadi acuan pemilu 2014.
[2] Lihat, Kementerian Dalam Negeri, 2016, ―Naskah Akademik Rancangan Undang -Undang tentang Pemilihan Umum,‖ (dalam pdf), hlm. 60.

[3] Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidentil, (Jember: Universitas Negeri Jember), 14 November 2011,  hlm.03, dalam  Ibid., hlm. 61.

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...