Unsur Kemanfaatan Hukum
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal
dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
faedah atau guna. Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa
untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi
Hans Kelsen hukum itu
sendiri adalah suatu
sollenskategorie (kategori
keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang
maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be)
melainkan ‘apa hukumnya’ (what is the law).
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum
sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus
agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan melawan hukum, dan
prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan
dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi
dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut Sudikno Mertokusumo
bahwa masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.
Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena
hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam
masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kemanfaatan hukum
menurut Jeremy Betham bahwa alam telah menempatkan umat manusia dibawah
pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk dua raja itu juga menentukan
apa yang akan kita lakukan dan apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga
menentukan apa yang akan kita lakukan, apa yang akan kita katakan dan apa yang
kita pikirkan. Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk
menyokong si ‘raja suka’, dan serentak mengekang si ‘raja duka’. Dengan kata
lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Jeremy
Bentham, sebagai penganut aliran utilistik, hukum barulah dapat diakui
sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap
sebanyak-banyaknya orang.
Konsep Jeremy Bentham mendapat kritikan yang cukup keras.
Dengan adanya kritik-kritik terhadap yang menghindari banyak masalah yang tidak
terjawab oleh utilitarianism. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan teori
Rawls atau justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran).
Kritik
Rawls tegasnya, bahwa untuk memperbesar kebahagiaan, terlebih dahulu tentunya,
harus memiliki ukuran kebahagiaan. Lalu, bagaimana caranya mengukur kebahagiaan
itu? Sesuatu yang menyenangkan seseorang, belum tentu juga menyenangkan bagi
orang lain. Seseorang yang senang membaca, kemungkinan besar tidak senang
berjudi. Sebaliknya, seseorang yang senang berjudi, juga kemungkinan besar
tidak senang membaca. Bahkan, bagi kita sendiri, sangat sulit untuk mengukur
kebahagiaan. Hal-hal yang berbeda memberikan kesenangan yang berbeda pula, yang
sulit untuk diperbandingkan.
Bagaimana
caranya membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dari makan dan kebahagiaan
yang diperoleh dari membaca? Bahkan, hal yang serupa, seperti makan, dapat
memberikan kesenangan yang berbeda tingkatannya, pada waktu dan suasana yang
berbeda. Makan, jauh lebih menyenangkan ketika sedang kelaparan, daripada
ketika sedang kenyang. Jadi, dapat dilihat, bahwa kebahagiaan tidak mungkin
untuk didefinisikan dan diukur secara konkret. Teori lain yang mencoba untuk
mencari jalan tengah di antara kedua teori di atas, yakni Teori Pengayoman.
Dalam teori ini dinyatakan, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik
secara aktif maupun pasif.
Secara aktif yakni upaya menciptakan suatu
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar; sedangkan secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Memang teori tersebut tampak berusaha
menggabungkan kelemahan-kelemahan terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum.
Teori Pengayoman dalam pandangan secara aktif, menunjukkan pada suatu teori
kemanfaatan hukum; sementara dalam pandangan secara pasif, menunjukkan pada
suatu teori keadilan hukum.[1]
Hukum bertujuan untuk "the
greatest happiness of the greatest number". Tujuan perundang-undangan
harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:
1.
To provide subsistence (untuk memberi nafkah
hidup).
2.
To provide abundance (untuk memberikan
makanan yang berlimpah).
3.
To provide security (untuk memberikan
perlindungan).
4.
To attain equility (untuk mencapai
persamaan).
John Stuart Mill
mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian
kebahagian, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan
kebalikan dari kebahagian, dengan kalimat lain; "Action are right
in proportion as they tend to promote man's happiness, and wrong as they tend
to promote the reverse of happiness".
Contoh kasus pada unsur
kemanfaat hukum ialah kasus yang terjadi di Yogyakarta, tepatnya kasus
perceraian dan telah ada putusannya, yaitu putusan di Pengadilan Negeri
Yogyakarta Nomor 48/ Pdt. G/ 2006/ Pn.Yk, tentang perceraian dalam ikatan
perkawinan. Pada kasus tersebut, disebutkan bahwa Marlyna Hentry (penggugat)
dan Hentry (tergugat) merupakan pasangan suami istri. Majelis hakim memberikan
pertimbangan atas pokok, bahwa penggugat dengan bukti-buktinya telah berhasil
membuktikan dalil gugatannya yang didasarkan pada Pasal 19 huruf f PP No. 9
tahun 1975, dan karena itu tuntutan penggugat agar perkawinan penggugat dan
tergugat dinyatakan putus karena perceraian dikabulkan.
Unsur kemanfaat dalam
kasus ini ialah, adanya keinginan dari masing-masing pihak yang sudah tidak
mampu lagi mempertahankan perkawinan, karena sering timbul cekcok atau
perselisihan. Selain itu, komunikasi antara penggugat dan tergugat sudah tidak
ada lagi, sehingga sangat sulit dipersatukan kembali dalam ikatan perkawinan.
[1] Chandra, Alex, dalam Jurnal yang berjudul Kemanfaatan
Hukum, dipublikasikan pada tanggal 20 November 2017
Komentar
Posting Komentar