Achmad
Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal
tidak ada konflik dan hal terjadi konflik. Contoh dari penerapan
hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar
harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari
penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah
membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang
telah dijual.
Dari
contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme
untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang
berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian
konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi,
melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya.
Thomas
Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara
manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat satu dengan masyarakat
lain. Oleh sebab itu, diperlukan suatu fungsi yang sifatnya lebih memaksa dan
tidak sekadar mempertahankan asas-asas terakhir yang mengatur kehidupan
masyakarat. Kaidah-kaidah ini mengoordinasikan unit-unit dalam lalu lintas
kehidupan sosial dengan cara memberikan pedoman orientasi tentang bagaimana
seharusnya manusia itu bertindak.
Seirama
dengan pendapat Harry C. Bredcmeier yang cenderung melihat fungsi hukum hanya
sebagai penjaga yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik. Dalam hal
ini, hukum baru beroperasi apabila telah terjadi suatu konflik.
Mengingat
peran hukum yang begitu penting maka diperlukan payung hukum yang kuat mengenai
hal ini. Dan bentuk payung hukum yang dimaksud adalah dengan hadirnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012.
Mengacu
pada strategi penanganan konflik yang dikembangkan oleh Pemerintah, maka
kerangka regulasi yang ada juga mencakup tiga strategi, yaitu:
1.
Kerangka
regulasi dalam rangka upaya pencegahan konflik seperti regulasi mengenai
kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap konflik dan
upaya-upaya untuk tidak terjadinya konflik;
2.
Kerangka
regulasi bagi kegiatan penanganan konflik pada saat terjadi konflik yang
meliputi upaya penghentian kekerasan sosial dan mencegah jatuhnya banyak korban
manusia maupun harta benda;
3.
Peraturan
yang menjadi landasan bagi pelaksanaan penanganan pasca konflik.
Menurut
Berry dan David, pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada
pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada
akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Sementara itu Soetopo
menyatakan bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktifitas
yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan
pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi
perubahan dan pencapaian tujuan.
Hodge
dan Anthony memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian)
konflik sebagai berikut:
1. Dengan menggunakan paksaan;
2. Dengan metode penghalusan;
3. Penyelesaian dengan cara demokrasi.
Kemudian,
Uri, Brett, dan Goldberg mengajukan tiga model pengelolaan konflik, yaitu:
1. Deffering to status power, individu dengan status yang lebih
tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang
ditawarkan.
2. Applying regulations model, ditekankan oleh asumsi bahwa
interaksi sosial diatur oleh hukum universal.
3. Integrating interest, model ini menekankan pada
perhatian pihak yang terlibat untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi
mereka dari pada tidak mendapat kesepakatan satupun.
sumber:
Komentar
Posting Komentar