Langsung ke konten utama

Masyarakat, Masyarakat Modern, Konflik, dan Konflik Sosial



Masyarakat dalam Bahasa Inggris disebut society, asal katanya socius yang berarti kawan. Sementara dalam Bahasa Arab yaitu syiek, artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk-bentuk akhiran  hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.[1]
Berikut merupakan beberapa pemahaman masyarakat menurut para ahli:
1.        Parsons mendefinisikan masyarakat sebagai suatu jenis sistem sosial yang dicirikan oleh tingkat kecukupan diri yang relatif bagi lingkungannya, termasuk sistem sosial yang lain.
2.        J.L. Gilin dan J.P. Gilin mendefinisikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan persatuan yang sama.
3.        Herkovits mendefinisikan masyarakat sebagai kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu.
4.        Koenjaraningrat mendefinisikan masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Masyarakat modern adalah suatu struktur sosial atau lingkungan kehidupan publik tempat relasi antar manusia diatur atas dasar bisnis, yaitu: produksi, konsumsi dan komersialisasi.[2] Pada masyarakat modern, perhatian lebih ditekankan pada sikap dan nilai‑nilai individu serta kemampuan produktifitas sumber daya manusia (SDM).
Masyarakat modern merupakan hasil evolusi dari masyarakat tradisional yang mengalami proses perubahan dalam segala bidang, baik budaya, politik, ekonomi dan sosial, gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah. Masyarakat modern juga merupakan suatu tatanan sosial yang lebih mengedepankan rasionalitas, universalisme, equalitarianisme, spesialisasi fungsional, dan tidak ketinggalan juga tingkat pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.[3]
Dalam masyarakat modern setiap individu atau kelompok mengalami proses perubahan yang lebih maju, yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya belum pernah dicapai dalam pengetahuan manusia. Terutama dalam bidang ekonomi, model‑model pertumbuhan ditandai dengan tingkat konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi serta intensitas modal.
Sedangkan dalam bidang sosial mencakup transisi multilinear ditandai dengan perubahan dalam atribut‑atribut sistemik, pola‑pola kelembagaan dan peranan‑peranan status dalam struktur sosial masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat modern lebih menekankan peran nilai dalam pembangunan sosio‑ekonomi yang didasarkan pada budaya materi.[4]
Sistem stratifikasi pada masyarakat modern cenderung menjadi terbuka dan fleksibel, kesempatan atau lapangan kerja modern, pola‑pola hubungan sosial didasarkan pada skill.  Kemajuan teknologi, pertumbuhan industri pabrik dan jasa, revolusi ilmu dan inovasi organisasi sangat mendorong ke arah spesialisasi fungsi‑fungsi, pembentukan birokrasi rasional vang ditangani oleh person (orang) yang menguasai teknik managerial dan professional.
Dalam bidang politik, bentuk pemerintahan dalam masyarakat modern berperan secara berlebihan dalam ruang lingkupnya yang menyentuh pada setiap segi kegiatan sosio‑ekonomi dan bahkan pada aspek kehidupan pribadi. Sistem politik baru melalui badan perundang‑undangan, pemerintahan dan pelayanan mendominasi kehidupan ekonomi. Selain itu perubahan yang timbul dalam masyarakat modern yaitu perluasan yang mengacu kepada gejala pembaharuan fisik didalam masyarakat melalui usaha yang dilakukan secara terus menerus.
Dalain bidang budaya, masyarakat modern melakukan perubahan-perubahan dalam struktur normatif masyarakat, khususnva seperangkat nilai yang menghambat tingkat kemajuan peradaban. Suatu perubahan pada nilai‑nilai merupakan suatu akibat yang tidak menghambat pada perkembangan ekonomi menurut kaum modernis dianggap sebagai konsekuensi logis dari modernisasi, dan perubahan ini akan menyelamatkan dan membahagiakan rakyat menuju suatu kemakmuran.

Menurut Wirawan, konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.[5]
Dalam kamus bahasa Indonesia, konflik berati percekcokan, pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat, atau perbedaan kepentingan.
Indati, merujuk pada gagasan Vasta bahwa konflik akan terjadi bila seseorang melakukan sesuatu tetapi orang lain menolak, menyangkal, merasa keberatan atau tidak setuju dengan apa yang dilakukan seseorang. Selanjutnya dikatakan bahwa konflik lebih mudah terjadi diantara orang-orang yang hubungannya bukan teman dibandingkan dengan orang-orang yang berteman. Konflik muncul bila terdapat adanya kesalahpahaman pada sebuah situasi sosial tentang pokok-pokok pikiran tertentu dan terdapat adanya antagonisme-antagonisme emosional.

Konflik sosial adalah pertentangan antara perseorangan atau kelompok dalam suatu masyarakat yang didasari oleh perbedaan-perbedaan mendasar, seperti nilai, status, dan kekuasaan. Konflik tersebut termasuk ke dalam proses sosial yang dapat berpengaruh positif ataupun negatif dalam interaksi antar manusia.
Konflik sosial menurut Robert Lawang merupakan proses sosial antar perseorangan atau kelompok di dalam suatu masyarakat yang diakibatkan adanya perbedaan paham dan kepentingan mendasar sehingga menimbulkan jurang pemisah yang kemudian menghambat interaksi sosial antara pihak yang bertikai.
Lewis A.Coser membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik realistis dan konflik non-realistis.[6]
1.        Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan indvidu atau kelompok atas tuntutan-tuntutan maupun perkiraan kentungan yang terjadi dalam hubungan sosial.
2.        Konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis (bertentangan, berlawanan), tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketengangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam masyarakat tradisional pembalasan dendam, lewat ilmu ghaib merupakan bentuk konflik non-realistis.
Lebih lanjut Coser menyatakan bahwa dalam satu situasi bisa terdapat elemen konflik realistis dengan non-realistis. Pemogokan melawan majikan, misalnya dapat betupa sikap atau sifat permusuhan dan perlawanan yang timbul tidak hanya sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh dan majikan. Sifak dan sikap bisa jadi juga timbul karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap figus-figur yang berkuasa. Misalnya figure ayah yang sangat otoriter. Dengan demikian energi-energi agresif mungkin terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik di redakan.
Berdasarkan kedua bentuk konflik diatas, Coser juga membagi konflik menjadi konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat sendiri. Contoh konflik yang terjadi antara anggota dalam satu geng. Sementara konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok atau masyarakat dengan kelompok atau masayrakat lain. Contoh, konflik yang terjadi antara satu geng dengan geng lainnya. Ahli lain yakni Ralf Dahrendorf membedakan konflik atas empat macam, yakni sebagai berikut:[7]
1.        Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peranan-peranan dalam kelurga atau profesi seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan.
2.        Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3.        Konflik-konflik antara kelompok-kelompok yang teroganisasi dan tidak terorganisasi
4.        Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik, antara Negara-negara atau organisasi-organisasi Internasional.
Sementara Soerjono Soekanto menyebutkan tiga bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga bentuk konflik atau pertentangan itu adalah sebagai berikut:[8]
1.        Konflik atau pertentangan pribadi. Konflik ini terjadi antara dua atau lebih individu karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2.        Konflik atau pertentangan rasial. Konflik ini umumnya timbul akibat perbedaan-perbedaan ras, seperti perbedaan ciri fisik, kepentingan dan kebudayaan. Konflik ini biasanya terjadi dalam masyarakat dimana dalam satu ras menjadi kelompok mayoritas. Contoh, konflik antara orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan beberapa waktu lalu.
3.        Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, konflik ini umumnya disebabkan karena perbedaan kepentingan. Contoh, konflik akibat perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan.
Menurut Ahmadi dilihat dari segi bentuknya, konflik sosial mempunyai beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut:
1.        Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perseorangan seperti pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedangan, dan pembeli, atasan dan bawahan dan sebagainya.
2.        Konflik kelompok, yaitu pertentangan yang terjadi secara kelompok seperti pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara kedua keseblasan sepak bola dan lain-lain.
3.        Konflik antar kelas sosial yaitu pertentangan yang terjadi antara kelas sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang miskin dan lain-lain.
4.        Konflik rasial adalah pertentangan yang terjadi antar ras, seperti pertentangan antara ras kulit hitam dan kulit putih.
5.        Konflik  politik,  yaitu  pertentangan  yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan paham dan aliran politik yang dianut seperti pertentangan antara masyarakat penjajah dan yang dijajah, antara golongan politik dan sebagainya.
6.        Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat akibat perbedaan budaya.
Novrin Susan membagi jenis konflik menjadi konflik vertikal “konflik atas”. Yang dimaksud adalah konflik elite dan massa (rakyat). Kedua konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) itu sendiri.
Menurut Fisher tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka dan konflik dipermukaan[9]
1.        Tanpa konflik merupakan kondisi konflik yang menggabarkan setuasi yang relatif stabil dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik dalam masyarakat tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama, masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang mencegah kearah konflik kekerasan. Kedua, sifaf budaya yang memungkinkan anggota masayarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
2.        Konflik Laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya menunjukan terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan dan perlu di angkat ke permukaan agar bisa di tangani.
3.        Konflik Terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4.        Konflik di permukaan adalah konflik yang memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan  muncul hanya          karena kesalapahaman mengenai sasaran, yang dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka).
Menurut Abu Ahmadin Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya konflik sosial adalah sebagai berikut:[10]
1.        Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian dan perasaan, sehingga menimbulkan pertikaian atau bentrok antar mereka.
2.        Perbedaan pola kebudayaan: seperti perbedaan adat-istiadat, suku bangsa, agama, bahasa, paham politik, pandangan hidup, sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan bentrok di antara anggota masyarakat tersebut.
3.        Perbedaan status sosial: seperti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya.
4.        Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok, sepeti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, agama dan sejenisnya.
5.        Terjadinya perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistim nilai, akibat masuknya nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, juga menjadi faktor penyebab terjadinya konflik sosial.
6.        Interdependensi, suatu keadaan dimana seorang individu dan kelempok yang mengembangkan keinginanannya untuk mencapai tujuan hidup. Namun kepentingan-kepentingan hidup-hidup masih mengharapkan bantua orang lain. Kondisi sosial yang mungkin saja tidak mendukung kebutuhan itu seketika akan menimbulkan konflik.Walaupun konflik yang terjadi masih dalam sub yang kecil.
7.        Perbedaan-perbedaan pada tujuan-tujuan dan prioritas, Perbedaan-perbedaan dalam cara pandang kehidupan akan berpengaruh terhadap tujuan dan perebedaan prioritas individu dan kelempok. Hal tersebut membuat individu dan kelempok masing-masing mengejar tujuan yang berbeda. Yang sering kali tidak bersifak konsisten atau tidak sesuai.
8.        Persaingan untuk mencapai sumber daya Tidak akan timbul konflik jika tidak ada masalah kelangkaan sumber daya yang perlu di bagi-bagi. Apabila sumber-sumber daya langkah, seperti terlihat biasannya dalam praktek kenyataan, harus diambil keputusan tentang pilihan alokasi sumber daya.
9.        Komunikasi, Komunikasi menjadi bagian dari faktor penyebab terjadinya konflik sosial. Ketidak sesuaian antara keinginan seorang individu dengan apa yang dikomunukasikan oleh individu yang lain menjadi sebab akan timbulnya konflik diantara mereka, hal ini bisa terjadi diantara individu dan individu maupun kelompok dengan kelompok serta kelompok dan individu.


[1]Kosim, H, E, Sosiologi”, 1994, hlm. 68.
[2] Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Masyarakat  Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 215.
[3] Francis Abraham. Perspectivesion Modernization: Toward General Theory of Third World Development “terj”. Rusli Karim (Yogyakarta: Tiara Wacana, 199), hlm. 4.
[4] Nasution, Dinamika Perubahan Sosial, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 57.
[5] Wirawan, “Konflik dan Manajemen Konflik”, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm.7.
[6] Drs. Mustamin, M,Si, “Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Paradigma Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014”,  Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 2 No. 2, 2016, hlm.186
[7] Drs. Mustamin, M,Si, “Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Paradigma Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014”,  Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 2 No. 2, 2016, hlm.187
[8] Drs. Mustamin, M,Si, “Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Paradigma Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014”,  Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 2 No. 2, 2016, hlm.187
[9] Drs. Mustamin, M,Si, “Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Paradigma Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014”,  Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 2 No. 2, 2016, hlm.188
[10] Drs. Mustamin, M,Si, “Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Paradigma Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014”,  Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol. 2 No. 2, 2016, hlm.189

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...