A. Mekanisme Impeachment di dalam ketentuan
Perundang-undangan
Mekanisme impeachment di
Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang
berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam
menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut
DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana
disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945[1]
maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR)
mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK.
Tahapan kedua proses
impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka
MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR
dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki
inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Setelah MK memberi putusan
atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut
maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan
batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR
dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR.
Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus
melalui keputusan yang diambil dalam siding paripurna DPR.[2]
Proses pengambilan keputusan
MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan
dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945
yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurangkurangnya ∫ dari seluruh
anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir
dalam rapat paripurna.
B. Proses Impeachment di Mahkamah Konstitusi
1. Kedudukan Pemohon serta Presiden dan/atau Wakil
Presiden
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment
di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan
impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika
proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau
Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses
impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan
atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna
adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah
untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah
untuk memberi justifikasi secara hukum.
DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal
standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1)
bahwa “Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi
permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan
mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum
untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?
Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum
mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasanya.[3]
Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat
menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Akan
tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya
kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk
anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika
penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggotaanggota yang mengusulkan hak
menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan
pembahasan tuduhan impeachment di DPR.
Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam proses impeachment di MK? Dari seluruh ketentuan hukum acara
pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya ada satu
ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit
menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga
negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga
negara, seluruh pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat
adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam
persidangan bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk
dimintai keterangan bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang
(cross check) ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK
kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah
sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
persidangan MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam
persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden
menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam
persidangan MK tidak benar.
Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK
maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi atau
diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih baik
bilamana Presiden dan/ atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK
sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan
keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR
sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.[4]
2. Syarat Formil Permohonan dan Pokok Perkara
Syarat formil permohonan berarti permohonan tersebut
harus mencantumkan hal-hal yang harus dipenuhi diluar dari substansi perkara.
Sedangkan pokok perkara berarti permohonan tersebut harus menguraikan secara
jelas substansi perkara dan hal-hal yang dimohon untuk diputus dalam hal ini
yaitu benar atau salahnya pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
malakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
a. Syarat Formil
Sebagaimana telah disebutkan bahwa syarat formil
adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam permohonan mengenai halhal
diluar
substansi perkara. Secara umum, dalam pelaksanaan hukum acara kewenangan MK
selama ini (Pengujian UU terhadap UUD dan Perselisihan Hasil Pemilu) ada 2
(dua) syarat formil permohonan yaitu (i) pemohon memenuhi persyaratan legal
standing dan (ii) perkara tersebut termasuk dalam kewenangan MK untuk
mengadilinya.
Dalam hal pelaksanaan kewajiban memutus pendapat DPR
atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, UU MK
menambah satu persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh DPR yaitu bahwa DPR
harus memenuhi prosedur pengambilan keputusan atas tuduhan impeachment sesuai
dengan UUD 1945 (pasal 7B ayat (3)) serta Peraturan Tata Tertib. Persyaratan
formil ini secara implisit diatur dalam pasal 80 ayat (3) UU MK yang mengatur
ketentuan bahwa pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan
keputusan yang diatur dalam pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita
acara rapat DPR juga buktibukti atas tuduhan impeachment tersebut.
Dengan demikian Sidang Panel Hakim[5]
yang melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan harus memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan kemudian wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan memperbaiki permohonan.
Dalam hal pemeriksaan syarat formil permohonan memutus
pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
maka ada 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi yaitu (i) masalah legal
standing, (ii) masalah kewenangan MK untuk mengadili dan (iii) masalah
prosedural yang harus dipenuhi DPR dalam mengambil keputusan atas pendapat
tersebut.
Konsekuensi bilamana salah satu persyaratan ini tidak
dipenuhi maka amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat
diterima.
b. Pokok Perkara
UUD 1945 dan UU MK seolah membuat klasifikasi pokok
perkara tuduhan impeachment kedalam 2 (dua) kelompok yaitu (a) Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hokum dan (b) Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.[6]
Yang termasuk dalam pelanggaran hukum dalam kelompok pertama adalah berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua yaitu
syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah sebagaimana ditentukan
dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 serta pasal 6 UU nomor 23 tahun 2003 sebagai
penjabaran dari pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
Akan tetapi pengelompokkan ini tidak membawa dampak
hukum yang berbeda. Karena bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan salah satu dari perbuatan melanggar hukum sebagaimana termasuk dalam
kelompok pertama maupun
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana termasuk
dalam kelompok kedua maka amar putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR.
Namun bila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan
pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka amar putusan MK adalah menyatakan
permohonan ditolak.
3. Proses beracara di MK
UU MK memberikan batasan waktu 90 hari, setelah
permohonan didaftar pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi di kepaniteraan,
bagi MK untuk memutus pendapat DPR mengenai tuduhan impeachment kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Selama kurun waktu itu ada beberapa tahapan
persidangan yang harus dilakukan MK sebelum mengambil putusan. Tahapan siding
pertama yaitu pemeriksaan pendahuluan, tahapan sidang kedua yaitu pemeriksaan
persidangan yang didalamnya termasuk siding pembuktian sebelum akhirnya digelar
sidang pembacaan putusan sebagi tahapan akhir.
a. Pemeriksaan Pendahuluan
Pada pelaksanaan hukum acara kewenangan MK yang lain,
sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh sidang panel hakim yang terdiri
dari 3 orang. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan bertujuan untuk memeriksa
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum masuk dalam pemeriksaan
pokok perkara.[7]
Pada tahapan ini Majelis Hakim wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan.
Berkaitan dengan permohonan dalam perkara memutus
pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
maka hal-hal yang perlu diperiksa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah
syarat-syarat formil dan kelengkapan administrasi yang meliputi
Ø legal standing
Majelis
hakim memeriksa apakah benar bahwa pemohon dalam perkara ini adalah DPR atau
kuasa yang ditunjuk oleh DPR.
Ø Kewenangan MK untuk mengadili perkara
Majelis
Hakim memeriksa apakah benar perkara yang diajukan oleh pemohon termasuk dalam
kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini.
Ø prosedur pengambilan keputusan DPR
Majelis
Hakim memeriksa apakah proses pengambilan keputusan DPR atas pendapat bahwa
Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 dan
Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam rangka memenuhi hal ini maka permohonan DPR
hendaknya menyertakan (i) keputusan DPR, (ii) risalah sidang DPR dan (iii)
berita acara rapat DPR yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan
sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1945 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
Ø Bukti-bukti
Majelis
Hakim memeriksa apakah bukti-bukti yang diajukan dalam permohonan telah memadai
untuk melakukan proses impeachment di MK. MK juga harus menetapkan standar
bukti permulaan yang cukup sehingga proses pemeriksaan pendapat DPR dapat
dilanjutkan pada tahap berikutnya. Mengenai standar bukti permulaan yang cukup
ini, MK harus mengacu pada standar bukti pada hukum acara pidana mengingat
bahwa tuduhan impeachment adalah terutama berkaitan dengan perbuatan pidana
yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK juga harus menetapkan jumlah
bukti yang harus diajukan oleh DPR dalam permohonannya. Pasal 183 KUHAP
menentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, sekurang-kurangnya dibutuhkan
2 (dua) dari 5 (lima) jenis alat bukti yang sah.
Apakah
MK juga akan menetapkan bahwa DPR harus melampirkan minimal 2 (dua) alat bukti
dalam permohonannya ataukah harus lebih? Mengingat bahwa kasus impeachment
adalah kasus khusus yang membutuhkan penanganan dan persyaratan yang istimewa.
Pasal
184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat-alat bukti yang sah adalah:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan terdakwa.
Bilamana
mengacu pada KUHAP maka timbul permasalahan yaitu apakah keterangan saksi
dan/atau ahli yang disampaikan dalam rapat panitia khusus DPR dapat digolongkan
pada alat bukti yang sah. Hal ini mengingat bahwa saksi dan ahli hanya dapat
legitimasi didepan sidang. Apakah rapat panitia khusus DPR termasuk sebagai
sidang yang dapat mengangkat saksi dan ahli? UU MK sendiri mengatur bahwa bila
pemohon ingin mengajukan saksi dan/atau ahli dalam persidangan maka biodata saksi
dan/atau ahli dapat dilampirkan dalam permohonan.
Namun
lampiran pengajuan nama saksi dan/atau ahli tidaklah termasuk dalam kualitas
alat bukti yang harus dilampirkan dalam permohonan DPR. Keterangan saksi
dan/atau ahli yang diajukan pemohon tersebut menjadi alat bukti bagi majelis hakim
untuk menjatuhkan putusan.
Oleh
sebab itu bila mengacu pada jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP maka
kemungkinannya hanya ada 2 (dua) jenis alat bukti yang sah yang dapat diajukan
DPR dalam permohonannya dimana alat bukti tersebut snagat kuat dan tidak lagi
menimbulkan perdebatan yaitu alat bukti surat dan alat bukti petunjuk.
Ø Daftar nama calon saksi dan calon ahli
Memeriksa
apakah dalam permohonan telah dicantumkan daftar nama calon saksi dan calon
ahli. Daftar nama ini menjadi penting mengingat prosedur beracara untuk memutus
pendapat DPR ini dibatasi oleh waktu, selain itu karena keterangan yang
diberikan oleh saksi maupun ahli merupakan bahan pertimbangan yang berharga
mengingat proses beracara di MK dalam rangka memutus pendapat DPR ini bersifat
adversarial.
b. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno
Majelis Hakim. Dalam persidangan majelis hakim memeriksa permohonan beserta
alat bukti yang diajukan. Pada pasal 41 ayat (2) UU MK yang mengatur secara
umum mengenai pemeriksaan persidangan disebutkan bahwa demi kepentingan
pemeriksaan maka majelis hakim wajib untuk memanggil pihak-pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan. Selain itu, demi
kepentingan pemeriksaan majelis hakim juga wajib meminta keterangan secara
tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Dalam kaitan dengan permohonan pendapat DPR ini maka
DPR sebagai pemohon wajib hadir dalam setiap sidang pemeriksaan permohonan
pendapat DPR yang digelar oleh MK. Hal ini selain untuk melindungi kepentingan
DPR sebagai pemohon dengan mengetahui perkembangan perkara juga agar DPR dapat
senantiasa dimintai keterangan yang berkaiatan dengan perkara ini.
Sedangkan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagai pihak yang sangat berkaitan dengan perkara ini, meskipun peradilan MK
bersifat adversarial dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
persidangan MK bukan merupakan suatu keharusan, namun demikian kehadiran
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan amatlah penting untuk
menjaga kepentingan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c. Putusan
Yang
menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang menyatakan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau
diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau wakil
Presiden. Kewajiban MK adalah untuk memberi putusan atas pendapat DPR ini.
Oleh
karena itu ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara
ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK menyatakan permohonan tidak
dapat diterima bilamana permohonan tidak memenuhi persyaratan formil
sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau sebagaimana mengacu pada pasal 80
UU MK.[8]
Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan bahwa
permohonan ditolak.[9]
Kemungkinan
ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar
putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR.[10]
4. Implikasi Putusan MK
UUD 1945 maupun UU MK menyebutkan kewajiban MK untuk
memutus pendapat DPR dalam bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain.[11]
Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK
memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah apakah
pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat
putusannya? Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan MK disebutkan bahwa
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat
putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat final. Sedangkan ketentuan
yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan
putusan. Dengan demikian, apakah hal ini berarti bahwa kewajiban MK untuk
memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? Dan
apakah putusan MK atas pendapat DPR tidak bersifat final?
Sebelum berangkat pada pembahasan masalah kewenangan
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta apakah sifat putusan MK juga
bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR maka untuk mengerucutkan
permasalahan perlu dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul
apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila putusan MK adalah
menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi
telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk melanjutkan proses impeachment
ke MPR.
Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan
hal ini. Kelompok Pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari
kewenangan-kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat
DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut
tidaklah final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah
karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskan
proses impeachment ke MPR. Yang berarti bahwa ada institusi lain setelah MK
yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam
proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses impeachment
melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan MK digunakan
sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut.
Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana Keputusan yang diambil
oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak
memiliki sifat final dan mengikat. Secara sosiologis, dampak atas perbedaan
putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas
pendapat DPR bersifat final dan mengikat. Artinya bahwa putusan MK atas
pendapat DPR itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat
semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain
yang melanjutkan proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak
melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan
keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara
terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Mengenai
kekuatan mengikat dari putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga
memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok
ini yang berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini
juga bersifat non-executable.
Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil
oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran
hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal
ini dapat dilakukan apakah bukan berarti beretntangan dengan asas ne bis in
idem?
Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam
pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses ≤impeachment
di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta
pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak
bertentangan dengan asas ne bis in idem[12] Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang
peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas
perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah
kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem.
Namun demikian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa selayaknya
pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan
pertimbangan hakim pengadilan negeri (hakim tinggi bila mengajukan banding
serta hakim agung bila mengajukan kasasi) dalam menjatuhkan putusan terhadap
kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan hukum antara MK dengan PN (PT
maupun MA). Sehingga hakim pengadilan negeri (hakim tinggi maupun hakim agung)
tidak melakukan review atas putusan MK. Terkecuali memang bilamana ditemukan
bukti baru yang menguatkan kedudukan mantan Presiden dan/atau Wakil Presiden
sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang
dilakukannya ketika menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
[1] melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
[2] Pasal 7B ayat (5) UUD NRI 1945
[3] Pasal 43 dan 44, UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[4] Pasal 184 ayat (3) Peraturan Tata Tertib DPR
[5] terdiri dari 3 (tiga) Hakim Konstitusi. Dalam perkara pengujian UU
terhadap UUD serta perkara perselisihan hasil pemilu, sidang pemeriksaan
pendahuluan dilakukan dengan sidang panel. Sedangkan untuk perkara memutus pendapat
DPR atas
tuduhan impeachment kepada Presiden dan atau Wakil Presiden belum dibuat ketentuan apakah
akan tetap menggunakan panel hakim ataukah langsung sidang pleno.
[6] Lihat pasal 7A UUD 1945 serta Pasal 80 ayat (2) UU MK
[7] Pasal 39 ayat (1) UU MK
[8] Pasal 83 ayat (1) UU MK
[9] Pasal 83 ayat (3) UU MK
[10] Pasal 83 ayat (2) UU MK
[11] Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta pasal 10 ayat (1) dan (2) UU
MK
[12] Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian asas ne bis in idem
dalam hukum pidana hanya terjadi pada saat pelaku, objek pidana dan alasan
penuntutannya sama. Dengan demikian, kondisi ini tidak mungkin dapat terjadi pada
perkara impeachment, mengingat model pembuktian di pengadilan negeri dan di ahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda. Lebih lanjut, lihat
hasil wawancara peneliti dengan Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji pada tanggal 6 Januari
2005.
Komentar
Posting Komentar