Fachri Arfian Dicka
NIM 11160480000067
NIM 11160480000067
1.
SENGKETA HASIL PEMILIHAN UMUM 2019 DI MAHKAMAH
KONSTITUSI
A.
DASAR-DASAR BPN MENGAJUKAN GUGATAN KE MAHKAMAH
KONSTITUSI
ARGUMENTASI
BPN
ARGUMENTASI
KUALITATIF
1.
Bahwa penetapan rekapitulasi hasil perhitungan
perolehan suara tersebut tidak sah menurut hukum karena perolehan suara
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 di atas, atas nama Ir.
H. Joko Widodo-Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin sebanyak 85.607.362 suara,
dibandingkan dengan Pemohon yang memperoleh sebanyak 68.650.239 suara, yang
sebenarnya ditetapkan melalui cara-cara yang tidak benar, melawan hukum, atau
setidak-tidaknya dengan disertai dengan penyalahgunaan kekuasaan presiden,
Petahana yang juga adalah Pasangan Capres Paslon Nomor 1.
Pelanggaran hukum sedemikian merupakan
kecurangan pemilu atau electoral threshold … vote electoral, yang sifatnya
terstruktur, sistematif, dan masif karena merupakan pelanggaran
konstitusional atas asas-asas pemilu yang luber, jujur, dan adil sebagaimana
disebutkan secara tegas di dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
2. bahwa
Calon Wakil Presiden Nomor Urut 1 … 01, Calon Wakil Presidennya, ternyata tidak
mengundurkan diri dari jabatan sebagai pejabat BUMN. Pasal 227 huruf p,
Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Syarat Calon
Wakil Presiden menyatakan dengan tegas bahwa seorang calon harus ada surat
keterangan mengundurkan diri atau pengunduran diri dari karyawan atau pejabat
BUMN ketika ditetapkan sebagai calon. Profil calon wakil presiden seperti dikemukakan di atas, ternyata masih
tercantum dalam website resmi bank BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri, BNI
Syariah sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah.
3.
Ada juga informasi mengenai terkait sumbangan
dana kampanye. Kami memeriksa Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN)
dari Presiden Ir. H. Joko Widodo atau Calon Presiden Ir. H. Joko Widodo yang
diumumkan KPU pada tanggal 12 April 2019. Ada buktinya. Salah satu yang
menarik, jumlah kekayaan beliau adalah Rp50 miliar, tapi kas dari setara kasnya
hanya Rp6.109.234.704,00. Tetapi kemudian, sumbangan pribadi beliau, Calon
Wakil Presiden Joko Widodo di dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye,
tanggal 25 April 2019 sejumlah Rp19.000.000,00 … Rp19.508.272.030,00 dalam
bentuk uang dan selain dalam bentuk barang, yaitu sebesar Rp25.000.000,00. Ada
yang menarik di situ. Dalam waktu 13
hari ketika diumumkan jumlah kas … setara kas yang di dalam harta kekayaan
pribadi Calon Presiden Joko Widodo berdasarkan LHKPN yang dilaporkan tanggal 12
April 2019, ternyata tanggal 25 April, beliau sudah mengeluarkan uang sebanyak
Rp19 miliar.
4.
Bahwa
demikian sudah sangat jelas ada indikasi dugaan menyamarkan sumber asli dana
kampanye yang bertujuan memecah sumbangan agar tidak melebihi batas dana
kampanye dari kelompok, yaitu sebesar Rp25 miliar. Pada fakta sumbangan dari
kelompok dengan pimpinan yang sama, bukti NPWP dan alamat sama sebesar Rp33
miliar lebih. Dan juga ada NIK yang berbeda pada nomor NPWP yang sama patut
diduga ada ketidakjelasan dari penyumbang dana kampanye dari sumbangan Rp33
miliar tersebut.
5.
Pelanggaran
Pilpres 2019 yang sistematis, terstuktur, dan massif
a.
Ketidaknetralan Aparatur Negara : Polisi dan
Intelijen
b.
Diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan
penegakan hukum
c.
Penyalahgunaan Birokrasi dan Bumn
d.
Penyalahgunaananggaran belanja Negara dan
program pemerintah
e.
Penyalahgunaan anggaran bumn
f.
Pembatasan kebebasan media dan pers
ARGUMENTASI
KUANTITATIF
1.
Daftar pemilih tetap tidak masuk akal
2.
Kekacauan situng KPU dalam kaitannya dengan
DPT
3.
Dokumen C7 secara sengaja dihilangkan di
berbagai Daerah
PETITUM
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Seluruhnya;
2. Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota
Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Berita Acara KPU RI Nomor
135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan
Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019,
sepanjang terkait dengan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019.
3. Menyatakan perolehan suara yang benar adalah sebagai berikut:
Jokowi – Maruf Amin, 63.573.169 (48%); Prabowo Subianto –Sandiaga Salahuddin
Uno 68.650.239 (52%). Jumlah 132.223.408.
4. Menyatakan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut
01 Jokowi – Maruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan
pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 secara
Terstruktur, Sistematis dan Masif;
5. Membatalkan (mendiskualifikasi) Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Nomor Urut 01 Jokowi – Maruf Amin sebagai Peserta Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden tahun 2019;
6. Menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor
Urut 2 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih periode tahun 2019 – 2024;
7. Memerintahkan kepada Termohon untuk seketika mengeluarkan surat
keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode tahun 2019 – 2024;
Atau,
1. Menyatakan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut
01 Jokowi – Maruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran
dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 melalui
penggelembungan dan pencurian suara secara Terstruktur, Sistematis dan Masif;
2. Menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor
Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih periode tahun 2019-2024;
3. Memerintahkan kepada Termohon untuk seketika untuk mengeluarkan
surat keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024;
4. Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang
secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Atau,
1. Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang
secara jujur dan adil di sebagian provinsi di Indonesia, yaitu setidaknya di
provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan
Kalimantan Tengah, agar dilaksanakan sesuai amanat yang tersebut di dalam Pasal
22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
2. Memerintahkan kepada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan
pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekruitmen baru untuk mengisi
jabatan komisioner KPU;
3. Memerintahkan KPU untuk melakukan penetapan pemilih berdasarkan
Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipertanggungjawabkan dengan melibatkan pihak
yang berkepentingan dan berwenang;
4. Memerintahkan KPU untuk melakukan Audit terhadap Sistem Informasi
Penghitungan Suara, khususnya namun tidak terbatas pada Situng.
5. Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
B.
Argumentasi KPU terkait Sengketa Pilpres
1. menolak Perbaikan Permohonan Pemohon.
Penolakan
terhadap Perbaikan Permohonan Pemohon adalah merupakan sikap tegas Termohon
terhadap ketaatan hukum acara yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tahapan Kegiatan
dan Jadwal Penanganan Perkara Hasil Pemilihan Umum sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2019 dalam rangka menjaga
ketertiban umum, kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi semua pihak. Bahwa
Perbaikan Permohonan Pemohon yang dibacakan dalam Sidang pada tanggal 14 Juni
2019 memiliki perbedaan yang sangat mendasar, baik dalam Posita maupun
Petitumnya, sehingga dapat dikualifikasikan sebagai permohonan yang baru.
2.
tidak
adanya dalil Pemohon mengenai kesalahan penghitungan perolehan suara yang
dilakukan oleh Termohon, menunjukkan bahwa Pemohon telah mengakui hasil
perolehan suara yang ditetapkan oleh Termohon, sehingga
Permohonan Pemohon tersebut menjadi bukti bahwa Termohon tidak pernah melakukan
kecurangan manipulasi perolehan suara yang merugikan Pemohon ataupun
menguntungkan Pihak Terkait, sekaligus membantah isu yang berkembang pada
sebagian kelompok masyarakat bahwa KPU curang. Karena apabila Pemohon memilki
bukti bahwa KPU curang melakukan manipulasi perolehan suara yang telah ditetapkan
sebagaimana terdapat dalam objek sengketa, tentunya sejak awal Pemohon akan
mengajukan permohonan yang menguraikan kesalahan hasil penghitungan suara, baik
pada tingkat TPS, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai
tingkat nasional.
3.
Termohon
tidak berpihak. Termohon telah melaksanakan kewajibannya untuk memperlakukan
peserta pemilu secara adil dan setara, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf
b Undang-Undang Pemilu. Sehingga tidak benar jika ada tuduhan bahwa Termohon
telah berpihak atau tidak berlaku adil dengan merugikan atau menguntungkan
salah satu pasangan calon dalam Pilpres 2019. Misalnya dengan cara mengubah
perolehan suara pasangan calon hasil pilihan rakyat atau bentuk-bentuk
kecurangan lainnya.
4.
Termohon
melihat seakan-akan terdapat upaya pengalihan isu dari
ketidakmampuan Pemohon dalam merumuskan berbagai fakta hukum yang menjadi dasar
pemeriksanaan perkara dalam persidangan menjadi semata-mata karena kesalahan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara ini yang tidak sesuai dengan keinginan Pemohon.
Dalil
Pemohon tersebut terkesan mengada-ada dan cenderung menggiring opini publik
bahwa seakan-akan Mahkamah Konstitusi akan bertindak tidak adil. Atau seperti
menyimpan bom waktu, seakan-akan apabila nantinya Permohonan Pemohon ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi telah bersikap tidak adil.
5. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan, “Beban
pembuktian, tidak hanya dibebankan kepada Pemohon, akan juga ... akan tetapi,
juga dibebankan kepada Mahkamah,” adalah dalil yang tidak berdasar karena
merupakan prinsip yang bersifat universal, siapa yang mendalilkan, maka dialah
yang harus membuktikan.
Berdasarkan
asas hukum umum, yaitu Asas Actori Incumbit (Onus) Probatio. Dalam kasus ini,
Pemohon menuduh berbagai jenis pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh
Pihak Terkait dan/atau kecurangan yang dilakukan oleh Termohon. Karena Pemohon
yang mendalilkan kecurangan, maka sudah seharusnya Pemohon pula yang
membuktikan. Kesulitan yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah semata-mata karena
faktor adanya ancaman atau intimidasi yang selama ini digembar-gemborkan oleh
Pemohon. Akan tetapi karena ketidakjelasan dalil yang dibangun oleh Pemohon
yang tidak didasari oleh fakta-fakta dan bukti-bukti yang jelas. Misalnya,
dalil Pemohon yang dibangun mengenai adanya kecurangan oleh Termohon seperti
pembukaan kotak suara di parkiran, sebagaimana terdapat pada halaman 81.
Ternyata Pemohon sendiri tidak mengetahui lokasinya dan hanya menggunakan
cuplikan rekaman video bahwa lokasinya di sebuah parkiran toko swalayan
Alfamart. Terdapat belasan ribu toko Alfamart di Indonesia, sehingga di mana
peran Mahkamah dalam memanggil saksi terkait kasus tersebut?
Dalam
kasus seperti ini, sudah pasti tidak bisa terungkap. Bagaimana hubungan kasus
tersebut dengan perolehan suara pasangan calon? Memaksakan Mahkamah untuk
dibebani pembuktian memanggil saksi terhadap dalil-dalil Pemohon yang tidak
jelas adalah merupakan pelanggaran asas-asas peradilan yang cepat, murah, dan
sederhana.
6.
Dalil
Pemohon yang menuntut agar link berita dijadikan sebagai alat bukti adalah
tidak berdasar. Karena sesuai dengan Pasal 36 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, alat bukti meliputi surat atau tulisan,
keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk hakim, dan
alat bukti lain yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
7.
Persoalan
Situng KPU nebis in idem. Temuan atas kesalahan input data C-1 pada
Situng KPU dan kesalahan sumber data C-1 yang dipindai, bukanlah merupakan hal
yang baru. Karena sebelumnya telah dilaporkan oleh Tim Pendukung Pemohon ke
Bawaslu RI dalam Perkara Nomor 07. Laporan tersebut telah diperiksa dan diputus
oleh Bawaslu pada tanggal 16 Mei 2019. Dengan amar putusan yang pada pokoknya
menyatakan, “Memerintahkan KPU untuk memperbaiki tata cara dan prosedur dalam
input data sistem informasi pemungutan suara.”
Dalam
pertimbangan hukum Bawaslu pada perkara tersebut, tidak ada satu pun pendapat
Bawaslu yang mengaitkan temuan kesalahan input data yang dipindai dan temuan
kesalahan pencatatan sumber data pada C-1 yang dipindai dengan keuntungan atau
kerugian salah satu pasangan calon.
PETITUM
Berdasarkan
uraian sebagaimana tersebut di atas, Termohon memohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut.
Dalam
Eksepsi. Menerima Eksepsi Termohon.
Dalam
Pokok Perkara. Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan benar
Keputusan KPU Republik Indonesia Nomor 987 tentang Penetapan Hasil Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota secara nasional dalam Pemilu Tahun 2019, tertanggal 21 Mei 2019.
Menetapkan perolehan suara Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2019 yang
benar adalah sebagai berikut.
Nama
pasangan calon:
1. Ir. H.
Joko Widodo dan Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin=85.607.362
2. H.
Prabowo Subianto dan H. Sandiaga Salahuddin Uno=68.650.239
Atau
apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.
C.
Argumentasi TKN terkait Sengketa Pilpres
1.
Setiap narasi yang berisi sebuah tuduhan,
hendaknya tidaklah berhenti pada sebatas tuduhan. Setiap tuduhan haruslah dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut hukum. Tanpa itu, tuduhan hanyalah sekadar tuduhan belaka sebagai cara
untuk melampiaskan emosi, ketidakpuasan, bahkan kebencian.
2.
Mahkamah adalah lembaga kekuasaan kehakiman
yang harus dihormati dan dipercaya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of
the constitution) adalah tidak pada
tempatnya untuk mengatakan dan meragukan integritas Mahkamah, seperti
mencurigai Mahkamah sebagai bagian dari rezim koruptif, padahal proses perkara
pun belum dimulai sama sekali.
3.
Bahwa
Pemohon dalam Permohonannya tidak menerangkan tentang perselisihan hasil
perolehan suara sebagai objek perkara yang seharusnya menjadi syarat formil
permohonan. Hal ini terbukti dalam Permohonan Pemohon yang sama sekali tidak
mendalilkan adanya perselisihan hasil perolehan suara dengan Pihak Terkait,
termasuk argumentasi Pemohon yang memuat tentang kesalahan hasil perhitungan
suara yang ditetapkan oleh Termohon maupun hasil perhitungan suara yang benar
menurut Pemohon. Pemohon hanya mendalilkan adanya pelanggaran yang bersifat
sistematis, terstruktur, dan masif sebagaimana disebutkan dalam dalil Pemohon
pada halaman 15 sampai halaman 29, yang mana dalil-dalil Pemohon adalah
merupakan asumsi, tidak disertai bukti-bukti yang sah, dan tidak pula dapat
terukur secara pasti, bagaimana dan sebesar apa dampaknya terhadap perolehan
suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden?.
4.
Permohonan
Pemohon tidak jelas dengan alasan-alasan sebagai berikut. Bahwa
Permohonan Pemohon dalam pokok perkara, halaman 7 sampai halaman 13,
menjelaskan tentang perlunya Mahkamah menerima Permohonan Pemohon untuk diadili
dan diputus. Uraian Permohonan dalam subjudul, “MK adalah pengawal konstitusi,
sehingga perlu mengadili kecurangan.” Dalam bagian Pokok Perkara, jika dibaca
lebih saksama dan teliti, pada pokoknya merupakan keinginan Pemohon sendiri
untuk menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Frasa sehingga perlu
mengadili secara eksplisit dan verbatim menunjukkan
kehendak subjektif Pemohon agar Mahkamah mempertimbangkan untuk menerima
Permohonan Pemohon untuk diproses beyond the law atau diluar
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
5.
Bahwa selain itu, Pemohon dalam Petitumnya
pada poin 7 memerintahkan kepada Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara
ulang di seluruh wilayah Indonesia tanpa
ada satupun menguraikan dalil yang relevan dalam Positanya. Misalnya, di
TPS mana harus diulang dan karena apa sebab sehingga harus diulang?
6.
Pengajuan
Perbaikan Permohonan yang dilakukan Pemohon tidak dapat dibenarkan secara hukum
dan karenanya patut untuk ditolak dan dikesampingkan oleh Mahkamah. Jika
dibenarkan, maka hal ini akan melanggar dan merugikan hak hukum Termohon dan
Pihak Terkait untuk mendapatkan kesempatan yang cukup untuk membantah
dalil-dalil Pemohon dan … dalam Perbaikan Permohonannya, baik dalam jawaban
maupun keterangan.
PETITUM
Berdasarkan
seluruh uraian, sebagaimana tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut.
Dalam
eksepsi.
1.
Menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya.
2.
Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa permohonan Pemohon
atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Dalam
pokok permohonan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
1.
ANALISA KASUS SENGKETA PHPU 2019
Berdasarkan uraian argumentasi yang disampakan oleh masing-masing
pihak, baik itu dari pihak pemohon dalam hal ini kubu Prabowo-Sandi, pihak
termohon dalam hal ini KPU, dan Pihakt terkait dalam hal ini adalah kubu
Jokowi-Ma’ruf amin. Maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa hal yang mesti
dicermati didalam perkara sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden
tersebut.
Melihat essensinya adalah sebuah sengketa yang di ajukan ke
Mahkamah Konstitusi maka focus dari pada pembahasan berikut adalah terkait
dengan apa yang disengketakan dalam hal ini dapat dilihat dari argumentasi dan
Petitum pihak pemohon dan bagaimana
proses pembuktiannya. . Sehingga keputusan yang diambil berdasar pada kuatnya
bukti – bukti yang dibawa oleh para pemohon, termohon, dan pihak terkait
Dari argumentasi pemohon dapat dilihat bahwa pada intinya
gugatannya adalah meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Hasil pemilihan
umum yang telah ditetapkan oleh KPU,dan meminta untuk menetapkan Hasil
penghitungan suara yang benar adalah yang
telah dilakukan secara internal oleh pihak pemohon atau melakukan
pemilihan suara ulang.
jika di lihat hasil dari pembuktian yang dilakukan oleh pemohon
terlihat jelas bahwa pemohon tidak mampu membuktikan apa yang di dalil kannya. Seperti
hal nya dalil pihak pemohon mengenai kecurangan yang dilakukan oleh pihak
terkait dalam pemilu ini yang menurut nya dilakukan secara terstruktur,
sistematis, dan massif. Sangat mudah dipatahkan oleh Ahli Hukum Pidana dari
Universitas Gajah Mada, Eddy O.S Hiariej, selaku ahli yang diajukan pihak
terkait perkara PHPU Presiden-Wakil Presiden, yang mengatakan bahwa harus ada
hubungan kausalitas antara pelanggaran TSM tersebut dan dampaknya.
Merujuk pada Fundamentum Petendi atau dasar gugatan atau dasar
tuntutan, kuasa hukum pemohon menunjukkan beberapa peristiwa, kemudian me-generalisir
bahwa kecurangan terjadi secara TSM. Padahal, untuk mengetahui apakah berbagai
pelanggaran tersebut, kalau memang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan,
mempunyai hubungan kausalitas dengan hasil Pilpres harus menggunakan teori
individualisir. Lebih lanjut ahli menyampaikan bahwa kuasa hukum pemohon sama sekali tidak
menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak masif
dan hubungannya dengan selisih penghitungan suara. Selain itu, untuk
membuktikan adanya TSM, harus dibuktikan dua hal, yaitu adanya meeting of mine diantara para pelaku
pelanggaran sebagai syarat subjektif dan adanya kerjasama yang nyata untuk
mewujudkan meeting of mine diantara
para pelaku pelanggaran sebagai syarat objektif secara kolektif atau
bersama-sama.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa pihak pemohon kurang mampu
dalam membuktikan dalil-dalilnya sehingga dirasa tepat jika Hakim memutus untuk
menolak seluruh petitum yang di ajukan demi Keadilan.
Komentar
Posting Komentar