Langsung ke konten utama

Mahkamah Konstitusi



Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilakukan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[1]

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru dalam cabang kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi yudikatif.[2] Pada hakikatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.

a)      Sejarah Mahkamah Konstitusi

Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.

Sejarah judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh supreme court.[3]

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi unifersity of  Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[4]

Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.

Gagasan Yamin muncul kembali dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas  persengketaan antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan pasal 7B pada 7 November 2001.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.

Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi  dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945  menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi).

Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi  didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances.

Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta ,mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.

Perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi adalah bawha Mahkamah Agung lebih merupakan “court of justice”,sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih merupakan “court of law”.Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.[5] Sebagai Lembaga negara produk reformasi,Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan ekspetasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum.Sejauh ini,Mahkamah Konstitusi telah merespons harapan publik tersebut melalui proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan.[6] Mahkamah Konstitusi menekankan perlunya keadilan substantif untuk menghindari munculnya putusan yang mengabaikan rasa keadilan sebagaimana kerap ditemukan dalam putusan pengadilan pada masa lalu..Semula putusan Mahkamah Konstitusi hanya sekedar menyatakan suatu norma atau undang-undang bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar,kemudian berkembang dengan memberikan tafsir suatu norma atau undang-undang yang diuji agar memenuhi syarat konstitusionalitas sehingga tidak terhindarkan Mahkamah Konstitusi membuat norma baru.Dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian atas produk-produk legislasi sehingga norma atau undang-undang yang duji memenuhi sayarat konstitusonalitas.Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir(petunjuk,arah,dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru)yang dapat diklasifikasi sebagai putusan konstitusional bersyarat(conditionally constitusional)dan putusan inkonstitusional bersyarat(conditionally unconstitutional).[7]



b)      Dasar Hukum dari Lemabaga Mahkamah Konstitusi

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Lalu kemudian UU 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi revisi atas UU Nomor 24 Tahun 2003.



c)      Tugas dan Fungsi(Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)



(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



d) Kritik dan Saran dari Lembaga Mahkamah Konstitusi

Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang mengundang kontroversi di lintas kalangan. Kontroversi ini menjadi keniscayaan pasca MK menjatuhkan putusannya nomor 46/PUU-XIV/2017 pada 14 Desember 2017 yang menolak permohonan pengujian undang-undang (judicial review) yang dimohonkan oleh Guru Besar IPB, Prof Euis Sunarti dan kesebelas pemohon lainnya terkait norma hukum perzinahan, pemerkosaan dan homoseks/lesbian yang terkandung dalam ketentuan Pasal 284, 285 dan 292 KUHP warisan kolonial Hindia-Belanda.

MK berdalih menolak permohonan tersebut karena tidak berwenang dalam kapasitasnya sebagai pembatal undang-undang (negative legislator) melainkan hal itu merupakan ranah Pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang (positive legislator). Jika ditelisik secara filosofis-historis, ketentuan Pasal 284 Wetbook van Strafrecht (WvS) –istilah/nama asli dari KUHP pasca diberlakukannya asas konkordansi (pemberlakuan hukum negeri kolonial ke wilayah koloni/jajahan) tahun 1918- mengatur tentang penalisasi perbuatan zina (overspel) antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan yang salah satu pelakunya masih dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki atau perempuan lain, pada hakikatnya sangat dipengaruhi mindset sekuleristik di daratan negara-negara Eropa pada waktu itu.

Paradigma semacam itu sangat berbeda dengan kondisi sosio-antropologis masyarakat Indonesia apabila di-flashback secara historis sebelum datangnya para negeri penjajah dan paradigma tersebut masih tetap lestari sebagai nilai-nilai hukum dan jiwa bangsa Indonesia hingga dewasa ini. Dengan demikian, dapat dipahami falsafah norma yang terkandung dalam Pasal 284 KUHP tentang zina telah melimitasi dan bertentangan dengan konsep zina menurut optik nilai-nilai ajaran agama (values of religion) dan hukum yang hidup serta berkembang dalam masyarakat (living law). Dalam optik values of religion dan living law bangsa Indonesia, konsep zina dipandang lebih luas, meliputi persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang terikat oleh perkawinan (adultery) maupun yang tidak terikat perkawinan (fornication)

Beralih pada ketentuan Pasal 292 KUHP yang turut dimohonkan kepada MK, mengatur penalisasi pencabulan terhadap orang dewasa (laki-laki dan perempuan) yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang patut diketahui/diduga belum dewasa.Permasalahannya, Pasal 292 KUHP yang diuraikan di atas merupakan hukum kompromistis yang dibuat oleh Belanda dan serta merta diterapkan di Hindia Belanda, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama, moralitas dan hukum adat masyarakat Indonesia ketika itu. penulis berpendapat bahwa seyogyanya MK dapat mengabulkan secara bersyarat apa yang dimohonkan oleh pemohon dalam amar putusannya.

Dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang dimohonkan di atas, menurut pendapat penulis MK dapat menjatuhkan putusan inkonstitusional bersyarat sepanjang untuk Pasal 284 KUHP tidak dimaknai persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan oleh pihak yang terikat oleh perkawinan (adultery), tidak mencakup atau meliputi juga persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang tidak terikat perkawinan (fornication) serta sepanjang untuk Pasal 292 KUHP tidak dimaknai pemidanaan pencabulan terhadap orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang patut diketahui/diduga belum dewasa menurut undang-undang tidak mencakup atau meliputi juga “yang sudah dewasa menurut undang-undang”. Dalam sejarahnya, putusan inkonstitusional bersyarat pertama kali dijatuhkan pada maret tahun 2009 ketika MK me-judicial review UU Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, menurut pandangan penulis tidaklah tepat MK menolak permohonan pemohon dengan dalih tidak berwenang karena perannya bukanlah sebagai positive legislator. Sepanjang MK menerapkan dua bentuk kreasi putusan yaitu conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka tidak dapat dihindari MK menjalankan fungsinya sebagai positive legislator sebab norma yang ditafsirkan oleh MK tersebut menjadi sebuah norma baru yang berbeda dengan norma sebelumnya. penulis sependapat dengan dissenting opinion yang lain dari 4 Hakim Konstitusi apabila norma dalam undang-undang tersebut secara nyata bertentangan dengan nilai-nilai agama, Pancasila dan living law yang dijamin oleh konstitusi namun terganjal oleh aturan formal-legalistik maka MK perlu ber-ijtihad dengan menggunakan konstitusional moralitas (moral reading of the Constitution).[8]





[1] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010). Hlm.221

[2] Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011). Hlm 149

[3] Muchamad Ali Safa,at dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010). Hlm 1-2

[4] Muchamad Ali Safa,at dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010). Hlm 3

[5] Jimly Ashiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang,Makalah Kuliah Umum Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta,2 Oktober 2004),hlm 5-6

[6]  Moh.Mahfud MD.,”Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi”,dalam Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi,Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2009,Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,Jakarta,2009,Cetakan Pertama,hlm.8

[7] Hamdan Zoelva,”Mekanisme Checks dan Balances Antar Lenbaga Negara(Pengalaman dan Praktik di Indonesia)”.makalah disampaikan pada Simposium Internasional “Negara Demokrasi Konstitusional”,yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-8 Mahkamah Konstitusi RI,Jakarta,Selasa 12 Juli 2011


[8] diakses dari https://duta.co/kritik-putusan-kontroversial-mk-terkait-lgbt/, tanggal 17 februari 2018 pukul 10.38 WIB

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...