Mahkamah Konstitusi adalah
sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. Dalam konteks
ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan: Pertama, sebagai pengawal
konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar
konstitusi dihormati dan dilakukan oleh semua komponen negara secara konsisten
dan bertanggung jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada,
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu
hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[1]
Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga baru dalam cabang kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi
yudikatif.[2]
Pada hakikatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya
konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions)
dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions).
Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan
peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala
ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam
hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.
a)
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Membicarakan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep
dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling
utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut
dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans
Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan
PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Sejarah judicial review muncul
pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat
dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika
Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang
mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya
menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang
dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden
dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan
praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal
maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi oleh supreme court.[3]
Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar
konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi unifersity of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan
aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika
suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah
suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional.
Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus
berupa constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang
yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong
vervassungs gericht soft di australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah
agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[4]
Momen yang perlu dicatat
berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas
lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi,
lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan
Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap
undang-undang, Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk
membanding undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat
alasan bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah
disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan
selain itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji
undang-undang, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang
bertentangan dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai
negara yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut
serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi
dalam UUD 1945.
Gagasan Yamin muncul kembali
dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi
mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR)
pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam
lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang,
memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain
yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi
kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas persengketaan antar lembaga negara, antar
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan
setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji
lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan
mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum
tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam
perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu
merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi
dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah
Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah
disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan
pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan
modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami
tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai
perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah
Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam
perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah
pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi
dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm
atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the
sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat
statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena
itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan,
baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap
konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide
demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini
mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus
dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan
ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan
perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde
Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review
(menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi).
Namun, penguasa waktu itu
hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah
undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu
kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen
ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual
yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan
menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu
sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena
itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas
undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945
telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan
(separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances.
Jumlah lembaga negara dan
segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa
antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke
supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang
berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu,
diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga,
kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang
Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang
digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden agar
tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati
perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat
menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa
jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta ,mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil
Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Perbedaan antara Mahkamah
Agung dengan Mahkamah Konstitusi adalah bawha Mahkamah Agung lebih merupakan
“court of justice”,sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih merupakan “court of
law”.Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan
pasal 24 Ayat (2) UUD 1945.[5]
Sebagai Lembaga negara produk reformasi,Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan
ekspetasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam bidang
penegakan hukum.Sejauh ini,Mahkamah Konstitusi telah merespons harapan publik
tersebut melalui proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung
tinggi prinsip keadilan.[6]
Mahkamah Konstitusi menekankan perlunya keadilan substantif untuk menghindari
munculnya putusan yang mengabaikan rasa keadilan sebagaimana kerap ditemukan
dalam putusan pengadilan pada masa lalu..Semula putusan Mahkamah Konstitusi
hanya sekedar menyatakan suatu norma atau undang-undang bertentangan terhadap
Undang-Undang Dasar,kemudian berkembang dengan memberikan tafsir suatu norma
atau undang-undang yang diuji agar memenuhi syarat konstitusionalitas sehingga
tidak terhindarkan Mahkamah Konstitusi membuat norma baru.Dalam beberapa
putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian atas produk-produk
legislasi sehingga norma atau undang-undang yang duji memenuhi sayarat
konstitusonalitas.Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
tafsir(petunjuk,arah,dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru)yang
dapat diklasifikasi sebagai putusan konstitusional bersyarat(conditionally constitusional)dan putusan
inkonstitusional bersyarat(conditionally
unconstitutional).[7]
b)
Dasar Hukum dari Lemabaga Mahkamah Konstitusi
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu
pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Lalu kemudian UU 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi revisi atas UU Nomor 24 Tahun 2003.
c)
Tugas dan Fungsi(Pasal
10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)
(1) Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan d.
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
d) Kritik dan Saran dari
Lembaga Mahkamah Konstitusi
Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang mengundang kontroversi
di lintas kalangan. Kontroversi ini menjadi keniscayaan pasca MK menjatuhkan
putusannya nomor 46/PUU-XIV/2017 pada 14 Desember 2017 yang menolak permohonan
pengujian undang-undang (judicial review) yang dimohonkan oleh Guru
Besar IPB, Prof Euis Sunarti dan kesebelas pemohon lainnya terkait norma hukum
perzinahan, pemerkosaan dan homoseks/lesbian yang terkandung dalam ketentuan
Pasal 284, 285 dan 292 KUHP warisan kolonial Hindia-Belanda.
MK berdalih menolak permohonan tersebut karena tidak berwenang dalam
kapasitasnya sebagai pembatal undang-undang (negative legislator)
melainkan hal itu merupakan ranah Pemerintah dan DPR selaku pembuat
undang-undang (positive legislator). Jika ditelisik secara
filosofis-historis, ketentuan Pasal 284 Wetbook van Strafrecht
(WvS) –istilah/nama asli dari KUHP pasca diberlakukannya asas
konkordansi (pemberlakuan hukum negeri kolonial ke wilayah koloni/jajahan)
tahun 1918- mengatur tentang penalisasi perbuatan zina (overspel)
antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan yang salah satu pelakunya
masih dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki atau perempuan lain, pada
hakikatnya sangat dipengaruhi mindset sekuleristik di
daratan negara-negara Eropa pada waktu itu.
Paradigma semacam itu sangat berbeda dengan kondisi sosio-antropologis
masyarakat Indonesia apabila di-flashback secara historis sebelum
datangnya para negeri penjajah dan paradigma tersebut masih tetap lestari
sebagai nilai-nilai hukum dan jiwa bangsa Indonesia hingga dewasa ini. Dengan
demikian, dapat dipahami falsafah norma yang terkandung dalam Pasal 284 KUHP
tentang zina telah melimitasi dan bertentangan dengan konsep zina menurut optik
nilai-nilai ajaran agama (values of religion) dan hukum yang hidup
serta berkembang dalam masyarakat (living law). Dalam optik values
of religion dan living law bangsa Indonesia,
konsep zina dipandang lebih luas, meliputi persetubuhan di luar perkawinan yang
dilakukan oleh pihak yang terikat oleh perkawinan (adultery) maupun
yang tidak terikat perkawinan (fornication)
Beralih pada ketentuan Pasal 292 KUHP yang turut dimohonkan kepada MK,
mengatur penalisasi pencabulan terhadap orang dewasa (laki-laki dan perempuan)
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang patut
diketahui/diduga belum dewasa.Permasalahannya, Pasal 292 KUHP yang diuraikan di
atas merupakan hukum kompromistis yang dibuat oleh Belanda dan serta merta
diterapkan di Hindia Belanda, sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama,
moralitas dan hukum adat masyarakat Indonesia ketika itu. penulis berpendapat
bahwa seyogyanya MK dapat mengabulkan secara bersyarat apa yang dimohonkan oleh
pemohon dalam amar putusannya.
Dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang dimohonkan di atas, menurut
pendapat penulis MK dapat menjatuhkan putusan inkonstitusional bersyarat
sepanjang untuk Pasal 284 KUHP tidak dimaknai persetubuhan yang dilakukan di
luar perkawinan oleh pihak yang terikat oleh perkawinan (adultery),
tidak mencakup atau meliputi juga persetubuhan di luar perkawinan yang
dilakukan oleh pihak yang tidak terikat perkawinan (fornication) serta
sepanjang untuk Pasal 292 KUHP tidak dimaknai pemidanaan pencabulan terhadap
orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang
patut diketahui/diduga belum dewasa menurut undang-undang tidak mencakup atau
meliputi juga “yang sudah dewasa menurut undang-undang”. Dalam sejarahnya,
putusan inkonstitusional bersyarat pertama kali dijatuhkan pada maret tahun
2009 ketika MK me-judicial review UU Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, menurut pandangan penulis tidaklah tepat MK menolak
permohonan pemohon dengan dalih tidak berwenang karena perannya bukanlah
sebagai positive legislator. Sepanjang MK menerapkan dua bentuk
kreasi putusan yaitu conditionally constitutional dan conditionally
unconstitutional sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka tidak
dapat dihindari MK menjalankan fungsinya sebagai positive
legislator sebab norma yang ditafsirkan oleh MK tersebut menjadi
sebuah norma baru yang berbeda dengan norma sebelumnya. penulis sependapat
dengan dissenting opinion yang lain dari 4 Hakim Konstitusi
apabila norma dalam undang-undang tersebut secara nyata bertentangan dengan
nilai-nilai agama, Pancasila dan living law yang dijamin
oleh konstitusi namun terganjal oleh aturan formal-legalistik maka MK perlu
ber-ijtihad dengan menggunakan konstitusional moralitas (moral
reading of the Constitution).[8]
[1]
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010). Hlm.221
[2]
Mexsasai Indra, Dinamika
Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011). Hlm 149
[3]
Muchamad Ali Safa,at dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta
: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010). Hlm 1-2
[4]
Muchamad Ali Safa,at dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta
: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi. 2010). Hlm 3
[5]
Jimly Ashiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Pengujian
Undang-Undang,Makalah Kuliah Umum Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta,2 Oktober 2004),hlm 5-6
[6] Moh.Mahfud
MD.,”Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi”,dalam Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi,Gambaran Singkat
Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2009,Sekertaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,Jakarta,2009,Cetakan Pertama,hlm.8
[7]
Hamdan Zoelva,”Mekanisme
Checks dan Balances Antar Lenbaga Negara(Pengalaman dan Praktik di
Indonesia)”.makalah disampaikan pada Simposium Internasional “Negara Demokrasi Konstitusional”,yang
diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-8 Mahkamah Konstitusi
RI,Jakarta,Selasa 12 Juli 2011
[8]
diakses dari https://duta.co/kritik-putusan-kontroversial-mk-terkait-lgbt/,
tanggal 17 februari 2018 pukul 10.38 WIB
Komentar
Posting Komentar