Mazhab
Sejarah
Pola
penalaran yang dikembangkan oleh Mazhab Sejarah pada dasarnya tidak melewati
langkah-langkah yang sistematis. Itulah sebabnya, model penalarannya sangat
alami, bukan sesuatu yang didesain khusus, konsisten dengan jargon aliran
berpikir ini bahwa hokum tidak dibuat melainkan tumbuh bersama dengan
masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit derm volke).
Aspek
ontologis dari mazhab sejarah menekankan bahwa hokum adalah pola-pola perilaku
social yang terlembagakan. Pola-pola perilaku yang terlembagakan ini mengontrol
secara normative perrilaku individu dan kelompok masyarakat, sesuai dengan asas
yang mengatakan bahwa fakta yang berulang-ulang terjadi akan mengikat secara
normative (Die normatieve kraft des
faktischen). Diasumsikan bahwa pola-pola tersebut telah mengalami
pendarahdagingan (internalisasi), sehingga tingkat efficacy-nya tidak perlu dipersoalkan sama sekali karena sudah
hadir dengan sendirinya.
Lalu
bagaimana dengan validaty? Aspek ini
dilambangkan dari gerakan dari arah sumbu y ke bawah (top-down) . jiwa rakyat (volksgeist)
itulah yag menginspirasi gerakan top-down
tersebut. Volksgeist ini
dipersepsikan ada secara intitutif, bukan hasil karya rasio. Volksgeist adalah kristalisasi
nilai-nilai yang dibangun melalui proses pengemblengan sejarah. Ia terjadi
dengan sendirinya, tidak didesain sehingga memerlukan lembaga untuk
mendesainnya. Ia lahir secara alamiah melalui kesepakatan-kesepakatan social
seperti halnya bahasa tutur manusia.
Jika
volksgeist adalah produk dari spirit,
maka jelas sesungguhnya ia adalah sesuatu yang ideal dan tatkala harus bertugas
menuntun perilaku social, ia dideduksi oleh masyarakat. Khusus dalam konteks
ini, Savigny sendiri tidak menutupi bahwa dirinya terpengaruh pada idealism I
legel.
Bagi
Savigny, jiwa bangsa tersebut berproses. Perbedaan ruang dan waktu membuat
proses ini bersifat unik untuk tiap-tiap bangsa. Volksgeist bangsa jerman, menurut Savigny, tidak mungkin dapat
dipersamakan dengan Volksgeist bangsa prancis, seperti yang cenderung akan
dilakukan Thibaut dengan proyek Kodifikasinya. Sayangnya, Savigny tidak cukup
konsisten dengan pendiriannya tatkala menganggap resepsi hokum Romawi kedalam
hokum Jerman pada Abad ke-16 sebagai “ the
greatest and most remarkable action of common customary law in the beginning
of the modern age”.
Dirinjau dari aspek aksiologisnya,
model penalaran Mazhab Sejarah menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan
(hasil pola penalaran nondoktrinal-induktif) dan keadila (hasil pola penalaran
doctrinal-deduktif atas nilai-nilai yang terinternalisasi). Kedua tujuan hokum
dalam aspek aksiologis ini berada pada tataran yang sama primernya, sehingga
pengupayaannya pun dilakukan secara simultan.
Konsep
Volksgeist bahkan dapat dipersandingkan dengan konsep hokum kodrat dari model
penalaran Aliran Hukum Kodrat. Perbedaan di antara keduanya, tentu saja ada ,
yakni pada aliran hokum kodrat skala
“hokum idel” itu berspektrum universal, sedangkan pada mazhab sejarah meyakini Volksgeist timbul dari proses alami yang
bersifat plural. Mazhab sejarah meyakini Volksgeist timbul dari masyarakat yang
memiliki kedalaman budaya. Volksgeist juga mempunyai sifat doctrinal, namun
doktrin yang diembannya tidak hadir dan berlaku atas dasar kekuatan otoritas
politik seperti halnya Positivisme Hukum arau Utilitarianisme. Dengan meminjam
istilah Immanuel Kant, Volksgeist ini dapat dikatakan sungguh-sungguh bersifat
imoeratif katagoris dalam skala normative paling makro.
Untuk kondisi Indonesia, kasus-kasus
yang terkait dengan model penalaran Mazhab Sejarah seperti diatas, cenderung
hanya bergerak dalam koridor perkara-perkara adat. Oleh karena itu, hakim yang
mengadili kasus-kasus demikian dituntut untuk menyadari sejak awal tentang
adanya pola penalaran yang khas Mazhab Sejarah, sehingga iya tidak terjebak pada
prosposisi yang dibangun dari norma positif dalam system
perundang-undangan. Ahli hokum adat
Indonesia, R. Soepomo, juga berpendirian bahwa dalam system hokum adat (di
Indonesia) tidak dikenal adanya peraturan hokum subtantif atau peraturan yang prae-existent. Dengan demikian, hakim
yang mengadili kasus semacam ini harus benar-benar kreatif dan rajin menggali
sendiri nilai-nilai yang hidup dalam keseharian perilaku masyarakat sekaligus
abstraksi dari nilai-nilai yang menjiwai pola-pola perilaku itu.
Karena
tidak ada norma yang prea-exitent, maka
Mazhab Sejarah membebankan tugas tambahan kepada para hakim untuk membuat
proposisi-proposisi seperti diatas.
Kesulitan lebih besar terjadi tatkala hakim harus merumuskan preposisi
r q karena ia berangkat dari pola
penalaran nondoktrinal –induktif. Biasanya, hakim menetapkan proposisi ini
melalui riset terhadap putusan-putusan haki sebellumnya yang mengadili kasus
serupa. Hal ini wajar dilakukan, namun dalam wacana teoritis, jika langkah
hakim ini dijadikan satu-satunya cara penetapan proposisi itu, jelas hakim
tersebut sudah tidak lagi berjalan mengikuti pola penalaran yang digunakan
Mazhab Sejarah. Alasannya karena yurisprudensi tetap termasuk ketentuan norma
substantive yang existent, bukan prae-existentn seperti dipersyaratkan
Mazhab Sejarah. Yurisprudensi dapat dijadikan refrensi, tetapi tidak boleh
sampai memasung kreativitas hakim untuk menyusun sendiri argument-argumennya
berdasarkan observasi yang dilakukannya terhadap pola-pola perilaku social yang
terlembaga.
Asas preseden yang mengikat para
hakim di keluarga system common law menjadikan
Mazhab Sejarah kurang dapat diterima dikawasan system hokum tersebut. Peluang
untuk menetapkan Mazhab Sejarah dimungkinkan di Indonesia, mengingat asas
preseden hanya tampil secara persuasive.
Model
penalaran Mazhab Sejarah jelas sangat kuat bernuansa sosiologis-antropologis.
Titik berpijak model penalaran ini juga bukan lagi menggunakan landasan berdiri
seorang partisipan (medespeler). Ini
memakai gaya bernalar kaum pengamat (toeschouwer).
Benar bahwa F.C. von Savigny (1770-1861) adalah tokoh penting Mazhab Sejarah
yang kebetulan berasal dari kawasan keluarga system civil law (jerman), namun buah pikiran Savigny yang mengarah kepada
pluralism hokum dan anti kodifikasi seperti itu jelas sudah menjauh dari
tradisi berpikir keluara system civil
law.
Ketidakpopuleran
pikiran-[ikiran Savigny dikawasan keluarga civil
law juga ditunjukan oleh pengundangan Code
Civil Prancis tahun 1804 dan Allgemeine
Burgerliche Gesetzbuch Austria tahun 1811.
Kurangnya peminat terhadap pola
penalaran Mazhab Sejarah juga dipengaruhi oleh inkonsistensi pandangan Savigny
sendiri terhadap konsep awalnya tentang hokum. Pada awalnya Savigny meyakini
huku tidak mungkin dipisahkan dari rakyat, sebagaiman halnya dengan bahasa. Hak
dan Kewajibandibentuk dan dihapus oleh tingkah laku simbolis yang sebenarnya
merupakan “tata bahasa hokum” pada saat itu. Namun, pada perkembangannya
kemudian Svigny mengakui bahwa jika kehidupan social bertambah kompleks, maka
hokum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang
lebih sempurna.
Tanpa
mengurangi pengakuan bahwa mazhab sejarah telah memperoleh respons positif dari
pembela hokum adat dikawasan Negara-negara civil
law sendiri, haruslah diterima kenyataan bahwa model penalaran Mazhab
Sejarah tetap tidak mampu mencegah semangat unifikasi dan kodifikasi dalam
system hokum Negara-negara teresebut. Kredit khusus bagi Mazhab Sejarah malahan
tidak diperolehnya dari segi ini, tetapi dari rintisannya dalam studi
sosiologis (juga antropologis) terhadap hokum. Sebagaiman diketahui, sekalipun
diawali di Negara- Negara civil llaw ,
studi sosiologis terhadap hokum justru berdampak besar terhadap hokum di
Negara-negara bertradisi common law, antara
berkat jasa Sir Henry Summer Maine (1822-1888). Acuan terhadap hokum kebiasaan
sangat kuat diterapkan dinegara-negara berkeluarga system common law. Suatu tradisi yang berurat-berakar jauh sebelum
penaklukan Inggris oleh bangsa Normandia (tahun 1066) dan tetap mendapat
pengakuan formal hingga sekarang dalam keluarga system common law.
Sumber
Juduk Buku : Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Penulis : Shidarta
Penerbit : GENTA Publlishing
Komentar
Posting Komentar