Langsung ke konten utama

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata



1.      Prinsip Umum Pembuktian
Dalam hukum pembuktian, terdapat beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam penerapannya, yaitu:[1]
a.       Pembuktian dalam perkara perdata bertujuan untuk mencari kebenaran formil
Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim dalam putusannya adalah kebenaran formil.
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim perdata didasarkan pada pembuktian atas fakta-fakta yang dikemukakan dalam persidangan, baik oleh Penggugat maupun Tergugat. Pembuktian demikian hanya sebatas membuktikan kebenaran formil (fakta-fakta nyata), meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa hakim dapat menemukan kebenaran materilnya.
b.      Siapa yang mengaku memiliki hak maka wajib membuktikannya
Prinsip ini merupakan prinsip umu myang dikenal dan diterapkan secara massif dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 163 HIR yang menyebutkan:
“barangsiapa yang mengatakan mempunyai brang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.”
c.       Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan
Terdapat beberapa fakta atau kondidi tertentu yang menyebabkan suatu fakta tidak peru dibuktikan, yaitu:
·         Hukum positif tidak perlu dibuktikan
·         Fakta-fakta yang telah diketahui umum
·         Fakta yang ditemukan dalam proses persidangan tidak perlu dibuktikan
·         Dalam hal putusan verstek
·         Dalam hal tergugat reperte (Tergugat tidak mengakui tetapi tidak juga membantah dalil-dalil Penggugat dan menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim).
·         Pengetahuan hakim sendiri
·         Pernyataan yang bersifat negatif
·         Gugatan yang tidak masuk akal (gugatan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum)
d.      Bukti lawan
Sistem peradilan perdata memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat bukti. Ketentuan mengenai bukti lawan ini diatur dalam Pasal 1918 KUHPerdata yang memberi hak kepada lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam teori dan praktik, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak Tergugat yang merupakan bukti penyangkalan atau bukti balasan terhadap bukti Penggugat.
Dengan dibolehkannya bukti lawan, maka kesempata kedua pihak untuk menang menjadi sama. Selain itu, adanya bukti lawan menyebabkan hakim dapat mengkonstatir peristiwa-peristiwa yang menjadi pokok sengketa untuk kemudian menetapkan hukumnya.
e.       Pembuktian bertujuan untuk mengambil putusan definitif
Tujuan utama pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk mengambil atau menjatuhkan putusan yang bersifat definitif, pasti, dan memiliki akibat hukum.
Setelah para pihak mengajukan alat-alat buktinya masing-masing maka hakim wajib untuk memberikan atau menjatuhkan putusannya. Karenanya, lebih lanjut, dapat dipahami pula bahwa prinsip ii merupakan wujud dari keseimbangan hak dan kewajiban antara hakim dan para pihak. Di satu sisi, para pihak wajib membuktikannya, dan di sisi lain, setelah pembuktian tersebut, hakim wajib untuk memutuskannya.

2.      Urgensi Pembuktian dalam Perkara Perdata
Urgensi pembktian dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk meyakinkan hakim mengenai kebenaran dalam suatu kasus. Meyakinkan hakim mengenai kebenaran tersebut melalui dua tahapan dasar, yaitu:[2]
·         Reveal the trurh (mengungkap fakta atau kenyataan)
Reveal the trurh adalah upaya untuk mengungkap kebenaran atau kenyataan dari suatu kasus yang sedang ditangani oleh hakim. Mengungkap kebenaran suatu kasus merupakan tahapan yang di dalamnya melibatkan pengungkapan fakta-fakya kejadian maupun fakta-fakta hukum.
·         Determine the truth (menetapkan fakta mana yang benar)
Determine the truth merupakan kelanjutan dari nproses mengngkap fakta-fakta tadi. Setelah hakim mengaitkan alat-alat bukti dengan fakta-fakta, maka selanjutnya hakim akan menyimpulkan dan menetapkan fakta-fakta mana yang terungkap atau berhasil dibuktikan.
Masih dalam konteks definisi pembktian tadi, urgensi pembuktian dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:[3]
·         Presumed to be true
Urgensi pertama dapat dikatakan sebagai sebuah kesepakatan umum, yaitu untuk membuktikan fakta-fakta tertentu dalam pemeriksaan suatu perkara.
·         Demonstrates the broadenong of the trusth of a case
Hal selanjutnya yang merupakan urgensi pembuktian dan patut untuk didiskusikan lebih lanjut adalah mengungkapkan atau memperluas fakta-fakta baru berkaitan dengan pokok masalah suatu kasus yang sedang ditangani.
Inilah urgensi pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata. Selain sebagai upaya untuk meyakinkan hakim, juga berperan dalam mengungkap fakta sebanyak mungkin untuk dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah serta menerapkan hukum secara lebih adil.
3.      Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR/283 RBg mengatakan, barangsiapa yang mengatakan mempunyai brang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.
Dalam pemeriksaan perkara perdata, yang harus membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mengajukan dalil gugatannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan dalil-dalil bantahannya. Dengan demikian, beban pembuktian terletak pada masing-masing pihak mengenai segala peristiwa, kejadian, atau fakta yang disengketakan itu dengan mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut hukum. Hakim dalam hal ini hanyalah menetapkan peristiwa, fakta atau kejadian apa yang belum terbukti dan haus dibuktikan oleh masing-masing pihak yang selanjutnya berwujud pembebanan pembuktian kepada para pihak.[4]
Sebagai contoh dalam soal warisan Penggugat mengajkan gugatan terhadap Tergugat bahwa harta arisan belm dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan itu tidak benar karena harta warisan sudah dibagi. Dalam hal ini Tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi. Jika penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negatif bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang bereprkara baik Penggugat maupun Tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan eristiwa yang menghapuskan atau membantah hak Penggugat tersebut.[5]

4.      Alat-Alat Bukti
Yahya Harahap mendefinisikan alat bukti sebagai segala hal yang dapat memberikan keteranga dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan yang diberikan alat-alat bukti tersebut, hakim kemudian melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Dalam hukum acara perdata yang menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Artinya dalam mengambil suatu keputusan, hakim senantiasa terikat dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut ketentuan pasal 164 HIR/284 RBg, ada lima macam alat bukti dalam perkara perdata, yaitu alat bukti surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

a.      Alat bukti tulisan atau surat
Alat bukti tuisan atau surat diatur pada Pasal 165-167 HIR/ 282-305 RBg dan Pasal 1867-1894 KUHPer.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda baca tertentu yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti tertulis merupakan alat bukti pertama dan utama dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia. Dikatakan pertama karena alat bukti tertulis memiliki tingkatan pertama atau tertinggi di antara bukti-bukti lain.
Jenis-jenis alat bukti tertulis:
1)      Akta autentik
Mengenai Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.”
Menurut ketentuan pasal 165 HIR/286 RBg. Akta Otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang disebutkan terakhir ini hanya sepanjang yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu”.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa bukti surat yang dapat dikategorikan sebagai akta autentik harus memenuhi minial lima unsur, yaitu:[6]
·         Dibuat oleh atau di hadapan pejabat resmi atau yang berwenang
·         Ditujukan sebagai alat bukti
·         Bersifat partai (minimal dua pihak)
·         Atas permintaan para partai (para pihak)
·         Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat
Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat Akta Otentik, antara lain notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai pejabat itu  beserta hasil pekerjaannya.[7]
Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta autentik adalah sempurna dan mengikat. Akan tetapi jika alat bukti akta autentik tersebut dibanah oleh pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya turun menjadi bukti permulaan. Dalam kondisi demikian untuk mencapai batas minimal pembuktian maka akta autentik tersebut harus didukung oleh minimal satu alat bukti lain.[8]
2)      Akta di bawah tangan
Pengertian akta bawah tangan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata, Pasal 286 RBg. Menurut pasal tersebut, akta bawah tangan:[9]
·         Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;
·         Tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak;
·         Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat, meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
·         Secara khusus ada akta bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta di bawah tangan tidak sekuat akta autentik. Akta di bawah tangan pada dasarnya mengikat bagi para pihak yang bertanda tangan di dalamnya, tetapi tidak mengikat bagi hakim. Inilah perbedaan utama kekuatan pembuktian akta autentik dengan akta di bawah tangan, karena kekuatan pembuktian yang melekat dalam akta autentik adalah sempurna dan mengikat, tidak hanya para pihak tetapi juga hakim.[10]
3)      Akta Sepihak
Akta pengakuan sepihak adalah akta pengakuan seseorang (debitur) yang mengakui bahwa dirinya telah berhutang kepada seseorang (kreditur) dengan jumlah tertentu dan akan dibayarkan pada kurun waktu tertentu, baik dengan uang maupun dengan barang lain yang senilai dengan jumlah hutang tersebut.[11]
Dari pengertian ini, dapat diketahui unsur-unsur dalam akta pengakuan sepihak, yaitu:
·         Pengakuan dalam akta dilakukan secara sepihak.
·         Menyebutkan adanya pengakuan hutang pengaku (debitur) kepada seseorang (kreditur). Pengakuan hutang tersebut mencakup objek dan jumlah atau besaran yang dipinjam dan waktu pelunasannya.
·         Ditandatangani oleh si pengaku hutang atau pembuat akta pengakuan sepihak tersebut.
Kekuatan pembuktian akta sepihak sama dengan kekuatan pembuktian pada akta di bawah tangan. Pasal 1878 KUHPerdata pun mengatur kekuatan pembuktian akta sepihak. Bila akta sepihak diakui, maka kekuatan pembuktiannya sama dengan akta autentik, yaitu sempurna dan mengikat. Akan tetapi jika diingkari oleh pihak lain, baik tanda tangan maupun isinya, maka turun kekuatannya menjadi bukti permulaan.[12]
4)      Alat bukti tertulis yang bukan akta
Alat bukti surat bukan akta adalah segala catatan atau tlisan yang pada awal pembuatannya tidak dimaksudkan sebagai alat bukti, melainkan hanya catatan semata atas suatu hal, peristiwa, pikiran, emosi, dan sebagainya.[13]
Beberapa contoh alat bukti tertulis bukan akta yang sering dijumpai dalam praktik  peradilan perdata adalah:[14]
·         Surat biasa atau korespondensi
·         Catatan harian
·         Surat-surat urusan rumah tangga
Alat bukti surat bukan akta pada dasarnya tidak dibuat untuk dijadikan sebagai bukti. Oleh karenanya hakim diberi kebebasan untuk menilai alat bukti tersebut. Kekuatan pembuktian alat bukti tertulis bukan akta adalah bebas.[15]
b.      Alat bukti saksi
Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Pembuktian dengan saksi pada dasarnya baru diperlukan jika pembuktian dengan surat atau tulisan tidak mencukupi atau tidak cukup kuat menerangkan pokok permasalahan yanga ada. Salah satu contoh keadaan diperlukannya pembukian saksi adalah akta autentik dibantah kebenarannya oleh Tergugat, maka akta autentik tersebut berubah menjadi bukti permulaan dan harus dibantu dengan minimal satu alat bukti lain agar mencapai batas minimal alat bukti.[16]
Syarat Formil alat bukti saksi
a)      Cakap menjadi saksi
Undang-undang telah menetapkan bahwa tidak semua orang cakap menjadi saksi. Ketidakcakapn tersebut dapat bersifat absolut, yaitu mereka yang digolongkan dalam pasal Pasal 145 ayat (1) HIR/174 ayat (1) RBg.
·         Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan dari salah satu pihak menurut keturunan lurus
·         Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai
·         Anak-anak yang tidak diketahui pasti bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun
·         Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang
Namun demikian, mereka yang disebutkan dalam pasal tersebut dapat menjadi saksi dalam hal-hal tertentu, yaitu dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang perjanjian suatu pekerjaan. Selain itu mereka dapat pula menjadi saksi dalam hal pemeriksaan tentang gugatan nafkah yang harus dibayar, perkara pencabutan kekuasaan orang tua atau wali, serta perkara mengenai persetujuan perburuhan.
b)      Keterangan disampaikan di sidang pengadilan
c)      Pemeriksaan saksi dilakukan satu per satu
d)     Mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan kesaksian
Syarat Materil alat bukti saksi:
a)      Keterangan yang disampaikan merupakan peristiwa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, bukan hasil dari kesimpulan, pengamatan, dan informasi dari pihak lain
b)      Keterangan yang diberikan harus diketahui alasan dan sumber pengetahuannya
c)      Keterangan-keterangan para saksi harus bersesuaian satu sama lain
Kekuatan pembuktian alat bukti saksi di persidangan adala kekuatan pembutian bebas. Artinya, terhadap kesaksian yang diberikan para saksi di persidangan, hakim bebas untuk menilai kkekuatan pembuktiannya. Kesaksian para saksi akan dinilai oleh hakim dalam apakah kesaksian tersebut mampu mengungkap pokok permasalahan yang ada serta apakah dapat mendukung alat bukti lain yang diajukan para pihak.[17]

c.       Persangkaan
Ketentuan mengenai persangkaan dalam Pasal 173 HIR/310 RBg hanya mengatur tentang petunjuk bagi hakim dalam mempergunakan alat bukti persangkaan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Definisi mengenai persangkaan sendiri bdisebutkan secara cukup rinci dalampasal 1915 KuHPerdata, yaitu kesmpulan yang oleh undang-undnag atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.[18]
Persangkaan menurut pasal 1915 KUHPer terbagi atas dua jenis:
1)      Persangkaan undang-undang
Yaitu suatu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. (Pasal 1916 KUHPer)
Persangkaan UU dibedkan atas dua macam:
·         Praesumptiones Juris Tantum, persangkaan undang-undang yang dapat dibantah.
·         Praesumptiones Juris Et De Jure, persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah.
Kekuatan pembuktian persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah adalah sempurna, mengikat, dan menentukan. Sementara itu, persangkaan undang-undang yang dapat dibantah, jika tidak dibuktikan sebaliknya, memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat, akan tetapi jika dibantah oleh lawan, maka kekuatan pembuktiannya turun menjadi bukti permulaan.[19]
2)      Persangkaan hakim
Yaitu persangkaan yang didasarkan pada kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalm persidangan.[20]
Contoh untuk pesangkaan mengenai persangkaan adanya perzinaan yang didasarkan pada bukti keterangan saksi yang menyatakan bahwa seorang pria dan seorang wanita yang bukan suami istri berada  di dalam satu kamar yang tertutup telah cukup untuk menimbulkan persangkaan hakim telah terjadi perzinaan di antara mereka.[21]
Kekuatan pembuktian persangkaan hakim pada dasarnya adalah bebas. Jika persangkaan hakim tersebut tidak dilawan atau dilumpuhkan oleh bukti lain, maka kekuatan pembuktiannya menjadi sepurna dan mengikat.[22]
d.      Pengakuan
Pengakuan adah pernyataan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam persidangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan adalah benar.
Pasal 1926 KUHPerdata menegaskan bahwa pengakuan yang telah diucapkan salah satu pihak dalam persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika terbukti bahwa pengakuan tersebut dilakukan atau diucapkan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Pengakuan, selain diucapkan di dalam persidangan juga kadangkala diucapkan di luar persidangan. Mengenai hal ini, Pasal 175 HIR mengaturnya sebagai berikut: “Diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim untuk menentukan nilai suatu pengakuan dengan lisan yang dilakukan di luar persidangan.”
Jenis-jenis pengakuan:[23]
·         Pengakuan murni
Yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Dalam pengakuan yang murni, tidak terselip pengingkaran sekecil apapun terhadap dalil dan tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.
·         Pengakuan berkualifikasi
Yaitu pengakuan dalil gugatan Penggugat yang diikuti dengan syarat atau sangkalan terhadap sebagian dalil gugatan.
·         Pengakuan berklausula
Yaitu pengakuan atas sebagian dalil gugatan Penggugat yang diringi dengan pernyataan atau klausula yang membebaskan.
Kekuatan pembuktian murni dan bulat adalah sempurna, mengikat, dan menetukan. Sementara itu kekuatan pembuktian berkualifikasi dan erklausula adalah kekuatan pembuktian bebas.[24]
e.       Sumpah
Sumpah adalah keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan agar orang memberikan keterangan tersebut takut akan murka Tuhan jika dia berbohong.
Syarat formil sumpah:
·         Ikrar diucapkan dengan lisan
·         Diucapkan di muka hakim dalam persidangan
·         Dilaksanakan di hadapan pihak lawan
Jenis-jenis sumpah:[25]
·         Sumpah pemutus (decisoir)
Diminta salah satu pihak kepada pihak lawan, alat bukti kuat yang menetukan putusan, dapat dikembalikan, dilakukan dalam tiap keadaan.
·         Sumpah pelengkap (suppletoir)
Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak), merupakan alat bukti tambahan, tidak dapat dikembalikan, hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.
·         Sumpah penaksir (aestimatoir)
Diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan.
Kekuatan pembuktian sumpah pemutus adalah sempurna, mengikat, dan menentukan. Mengenai kekuatan pembuktian sumpah pelengkap dan sumpah penaksir, pakar hukum masih berbeda pendapat. Sebagian pakar berpendapat bahwa kekuatan sumpah pelengkap dan sumpah penaksir hanya sempurna dan mengikat, tidak menentukan, karena masih memungkinkan diajukannya bukti lawan.[26]


[1] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 24-28.
[2] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 10-11.
[3] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 11-12.
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2006, h. 231.
[5] Moh. Taufik Makarab, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004, h. 95-96.
[6] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 48.
[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, h. 13-1341.
[8] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 32-53.
[9] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika: Jakarta, 2005, h. 589-590.
[10] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 54.
[11] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 56.
[12] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 57-58.
[13] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 59.
[14] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 59-60.
[15] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 60.
[16] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 62.
[17] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 66.
[18] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 67.
[19] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 71-72.
[20] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika: Jakarta, 2005, h. 696.
[21] Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Jakarta: Kencana, 2012, h. 72.
[22] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 73-74.
[23] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 75-77.
[24] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 81.
[25] Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Jakarta: Kencana, 2012, h. 74.
[26] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 94-95.

Komentar

Popular Posts

Pandangan Filsuf Romawi tentang Hukum : Cicero (106-43 SM)

“ Dimana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius). Pemahaman cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan masyarakat. Hukum tidak sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia. Menurut C.A. Van Peursen, kebudayaan merupakan endapan kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Selo soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu. Clifford Geertz memaknai kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna ( a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani lengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak,...

Mekanisme Hukum Penyelesaian Konflik Masyarakat Modern

Achmad Ali menjelaskan bahwa penerapan hukum itu terdapat dalam dua hal, yaitu hal tidak ada konflik dan hal terjadi konflik . Contoh dari penerapan hukum pada saat tidak ada konflik adalah ketika seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uang pembayaran. Sementara contoh dari penerapan hukum pada saat terjadinya konflik adalah ketika pembeli sudah membayar harga barang akan tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah dijual. Dari contoh di atas telah terlihat bahwasannya hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun dalam penyelesaian konflik itu sendiri tidak hanya hukum yang dijadikan sarana integrasi, melainkan juga sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral, dan sebagainya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa masyarakat adalah sebagai medan peperangan antara manusia satu dengan manusia lain, atau antara masyarakat sa...

PENALARAN HUKUM (Sebuah Pengantar)

“The Object of a scientific inquiry is discovery: the object of a legal inquiry is decision”- Visser’t Hooft.                 Kutipan diatas sebenarnya ingin menunjukan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “… legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice”. Namun, tipe argumentasi problematis (topical) seperti dikemukakan itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistematis).                 Berpikir aksiomatis menunjuk pada proses yang bertolak dari kebenaran-kebenaran yang tidak di...