1.
Prinsip
Umum Pembuktian
Dalam
hukum pembuktian, terdapat beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam
penerapannya, yaitu:[1]
a. Pembuktian
dalam perkara perdata bertujuan untuk mencari kebenaran formil
Dalam proses peradilan
perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim dalam putusannya adalah
kebenaran formil.
Putusan yang dijatuhkan
oleh hakim perdata didasarkan pada pembuktian atas fakta-fakta yang dikemukakan
dalam persidangan, baik oleh Penggugat maupun Tergugat. Pembuktian demikian
hanya sebatas membuktikan kebenaran formil (fakta-fakta nyata), meskipun tidak
menutup kemungkinan bahwa hakim dapat menemukan kebenaran materilnya.
b. Siapa
yang mengaku memiliki hak maka wajib membuktikannya
Prinsip ini merupakan
prinsip umu myang dikenal dan diterapkan secara massif dalam praktik peradilan
perdata di Indonesia. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 163 HIR yang
menyebutkan:
“barangsiapa yang mengatakan
mempunyai brang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan
haknya itu, atau
untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
hak itu atau kejadian itu.”
c. Fakta-fakta
yang tidak perlu dibuktikan
Terdapat beberapa fakta
atau kondidi tertentu yang menyebabkan suatu fakta tidak peru dibuktikan,
yaitu:
·
Hukum positif tidak
perlu dibuktikan
·
Fakta-fakta yang telah
diketahui umum
·
Fakta yang ditemukan
dalam proses persidangan tidak perlu dibuktikan
·
Dalam hal putusan
verstek
·
Dalam hal tergugat reperte (Tergugat tidak mengakui tetapi
tidak juga membantah dalil-dalil Penggugat dan menyerahkan sepenuhnya kepada
kebijaksanaan hakim).
·
Pengetahuan hakim
sendiri
·
Pernyataan yang
bersifat negatif
·
Gugatan yang tidak
masuk akal (gugatan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya sebagai
subjek hukum)
d. Bukti
lawan
Sistem peradilan
perdata memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan
alat-alat bukti. Ketentuan mengenai bukti lawan ini diatur dalam Pasal 1918
KUHPerdata yang memberi hak kepada lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya
terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dalam teori dan praktik, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak
Tergugat yang merupakan bukti penyangkalan atau bukti balasan terhadap bukti
Penggugat.
Dengan dibolehkannya
bukti lawan, maka kesempata kedua pihak untuk menang menjadi sama. Selain itu,
adanya bukti lawan menyebabkan hakim dapat mengkonstatir peristiwa-peristiwa
yang menjadi pokok sengketa untuk kemudian menetapkan hukumnya.
e. Pembuktian
bertujuan untuk mengambil putusan definitif
Tujuan utama pembuktian
dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk mengambil atau menjatuhkan
putusan yang bersifat definitif, pasti, dan memiliki akibat hukum.
Setelah para pihak
mengajukan alat-alat buktinya masing-masing maka hakim wajib untuk memberikan
atau menjatuhkan putusannya. Karenanya, lebih lanjut, dapat dipahami pula bahwa
prinsip ii merupakan wujud dari keseimbangan hak dan kewajiban antara hakim dan
para pihak. Di satu sisi, para pihak wajib membuktikannya, dan di sisi lain,
setelah pembuktian tersebut, hakim wajib untuk memutuskannya.
2.
Urgensi
Pembuktian dalam Perkara Perdata
Urgensi
pembktian dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk meyakinkan hakim
mengenai kebenaran dalam suatu kasus. Meyakinkan hakim mengenai kebenaran
tersebut melalui dua tahapan dasar, yaitu:[2]
·
Reveal the trurh
(mengungkap fakta atau kenyataan)
Reveal
the trurh adalah upaya untuk mengungkap kebenaran atau kenyataan dari suatu
kasus yang sedang ditangani oleh hakim. Mengungkap kebenaran suatu kasus
merupakan tahapan yang di dalamnya melibatkan pengungkapan fakta-fakya kejadian
maupun fakta-fakta hukum.
·
Determine the truth
(menetapkan fakta mana yang benar)
Determine
the truth merupakan kelanjutan dari nproses mengngkap fakta-fakta tadi. Setelah
hakim mengaitkan alat-alat bukti dengan fakta-fakta, maka selanjutnya hakim
akan menyimpulkan dan menetapkan fakta-fakta mana yang terungkap atau berhasil
dibuktikan.
Masih dalam konteks definisi pembktian
tadi, urgensi pembuktian dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:[3]
·
Presumed to be true
Urgensi
pertama dapat dikatakan sebagai sebuah kesepakatan umum, yaitu untuk
membuktikan fakta-fakta tertentu dalam pemeriksaan suatu perkara.
·
Demonstrates the
broadenong of the trusth of a case
Hal
selanjutnya yang merupakan urgensi pembuktian dan patut untuk didiskusikan
lebih lanjut adalah mengungkapkan atau memperluas fakta-fakta baru berkaitan
dengan pokok masalah suatu kasus yang sedang ditangani.
Inilah urgensi pembuktian dalam
pemeriksaan perkara perdata. Selain sebagai upaya untuk meyakinkan hakim, juga
berperan dalam mengungkap fakta sebanyak mungkin untuk dapat menentukan mana
yang benar dan mana yang salah serta menerapkan hukum secara lebih adil.
3.
Beban
Pembuktian
Pasal
163 HIR/283 RBg
mengatakan, barangsiapa
yang mengatakan mempunyai brang sesuatu hak atau
menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.
Dalam
pemeriksaan perkara perdata, yang harus membuktikan atau dibebani pembuktian
adalah para pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama
penggugat yang mengajukan dalil gugatannya, sedangkan tergugat berkewajiban
membuktikan dalil-dalil bantahannya. Dengan demikian, beban pembuktian terletak
pada masing-masing pihak mengenai segala peristiwa, kejadian, atau fakta yang
disengketakan itu dengan mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut hukum.
Hakim dalam hal ini hanyalah menetapkan peristiwa, fakta atau kejadian apa yang
belum terbukti dan haus dibuktikan oleh masing-masing pihak yang selanjutnya
berwujud pembebanan pembuktian kepada para pihak.[4]
Sebagai
contoh dalam soal warisan Penggugat mengajkan gugatan terhadap Tergugat bahwa
harta arisan belm dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak Tergugat mengatakan
itu tidak benar karena harta warisan sudah dibagi. Dalam hal ini Tergugat
dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah dibagi. Jika penggugat
dibebankan untuk membuktikan secara negatif bahwa harta warisan tersebut belum dibagi,
maka akan sangat berat baginya.
Dengan
kata lain kedua belah pihak yang bereprkara baik Penggugat maupun Tergugat
dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan
adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan Tergugat
yang membantah adanya hak orang lain (Penggugat) wajib membuktikan eristiwa
yang menghapuskan atau membantah hak Penggugat tersebut.[5]
4.
Alat-Alat
Bukti
Yahya
Harahap mendefinisikan alat bukti sebagai segala hal yang dapat memberikan
keteranga dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan.
Berdasarkan keterangan dan penjelasan yang diberikan alat-alat bukti tersebut,
hakim kemudian melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna
pembuktiannya.
Dalam
hukum acara perdata yang menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti
yang sah. Artinya dalam mengambil suatu keputusan, hakim senantiasa terikat
dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut
ketentuan pasal 164 HIR/284 RBg, ada lima macam alat bukti dalam perkara
perdata, yaitu alat bukti surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan
sumpah.
a.
Alat
bukti tulisan atau surat
Alat
bukti tuisan atau surat diatur pada Pasal 165-167 HIR/ 282-305 RBg dan Pasal
1867-1894 KUHPer.
Menurut
Sudikno Mertokusumo, Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang
memuat tanda baca tertentu yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Alat
bukti tertulis merupakan alat bukti pertama dan utama dalam sistem hukum
pembuktian di Indonesia. Dikatakan pertama karena alat bukti tertulis memiliki
tingkatan pertama atau tertinggi di antara bukti-bukti lain.
Jenis-jenis
alat bukti tertulis:
1)
Akta autentik
Mengenai
Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan: “Suatu akta
otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.”
Menurut
ketentuan pasal 165 HIR/286 RBg. Akta Otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau
di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap
bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak dari
padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan bahkan tentang apa
yang tercantum di dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang disebutkan
terakhir ini hanya sepanjang yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok dalam akta itu”.
Dari
definisi tersebut, dapat dipahami bahwa bukti surat yang dapat dikategorikan
sebagai akta autentik harus memenuhi minial lima unsur, yaitu:[6]
·
Dibuat oleh atau di
hadapan pejabat resmi atau yang berwenang
·
Ditujukan sebagai alat
bukti
·
Bersifat partai
(minimal dua pihak)
·
Atas permintaan para
partai (para pihak)
·
Mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat
Pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat Akta Otentik, antara lain
notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam
melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat
dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai
pejabat itu beserta hasil pekerjaannya.[7]
Kekuatan
pembuktian yang melekat pada akta autentik adalah sempurna dan mengikat. Akan
tetapi jika alat bukti akta autentik tersebut dibanah oleh pihak lawan, maka
kekuatan pembuktiannya turun menjadi bukti permulaan. Dalam kondisi demikian
untuk mencapai batas minimal pembuktian maka akta autentik tersebut harus
didukung oleh minimal satu alat bukti lain.[8]
2)
Akta di bawah tangan
Pengertian
akta bawah tangan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata,
Pasal 286 RBg. Menurut pasal tersebut, akta bawah tangan:[9]
·
Tulisan atau akta yang
ditandatangani di bawah tangan;
·
Tidak dibuat dan
ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat
sendiri oleh seseorang atau para pihak;
·
Secara umum terdiri
dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat,
meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga,
lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
·
Secara khusus ada akta
bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Kekuatan pembuktian yang melekat
pada akta di bawah tangan tidak sekuat akta autentik. Akta di bawah tangan pada
dasarnya mengikat bagi para pihak yang bertanda tangan di dalamnya, tetapi
tidak mengikat bagi hakim. Inilah perbedaan utama kekuatan pembuktian akta autentik
dengan akta di bawah tangan, karena kekuatan pembuktian yang melekat dalam akta
autentik adalah sempurna dan mengikat, tidak hanya para pihak tetapi juga
hakim.[10]
3)
Akta Sepihak
Akta
pengakuan sepihak adalah akta pengakuan seseorang (debitur) yang mengakui bahwa
dirinya telah berhutang kepada seseorang (kreditur) dengan jumlah tertentu dan
akan dibayarkan pada kurun waktu tertentu, baik dengan uang maupun dengan
barang lain yang senilai dengan jumlah hutang tersebut.[11]
Dari
pengertian ini, dapat diketahui unsur-unsur dalam akta pengakuan sepihak,
yaitu:
·
Pengakuan dalam akta
dilakukan secara sepihak.
·
Menyebutkan adanya
pengakuan hutang pengaku (debitur) kepada seseorang (kreditur). Pengakuan
hutang tersebut mencakup objek dan jumlah atau besaran yang dipinjam dan waktu
pelunasannya.
·
Ditandatangani oleh si
pengaku hutang atau pembuat akta pengakuan sepihak tersebut.
Kekuatan
pembuktian akta sepihak sama dengan kekuatan pembuktian pada akta di bawah
tangan. Pasal 1878 KUHPerdata pun mengatur kekuatan pembuktian akta sepihak.
Bila akta sepihak diakui, maka kekuatan pembuktiannya sama dengan akta
autentik, yaitu sempurna dan mengikat. Akan tetapi jika diingkari oleh pihak
lain, baik tanda tangan maupun isinya, maka turun kekuatannya menjadi bukti
permulaan.[12]
4)
Alat bukti tertulis
yang bukan akta
Alat
bukti surat bukan akta adalah segala catatan atau tlisan yang pada awal
pembuatannya tidak dimaksudkan sebagai alat bukti, melainkan hanya catatan
semata atas suatu hal, peristiwa, pikiran, emosi, dan sebagainya.[13]
Beberapa
contoh alat bukti tertulis bukan akta yang sering dijumpai dalam praktik peradilan perdata adalah:[14]
·
Surat biasa atau
korespondensi
·
Catatan harian
·
Surat-surat urusan
rumah tangga
Alat bukti surat bukan
akta pada dasarnya tidak dibuat untuk dijadikan sebagai bukti. Oleh karenanya
hakim diberi kebebasan untuk menilai alat bukti tersebut. Kekuatan pembuktian
alat bukti tertulis bukan akta adalah bebas.[15]
b.
Alat
bukti saksi
Menurut
Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil di persidangan.
Pembuktian
dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal
165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak
diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Pembuktian
dengan saksi pada dasarnya baru diperlukan jika pembuktian dengan surat atau
tulisan tidak mencukupi atau tidak cukup kuat menerangkan pokok permasalahan
yanga ada. Salah satu contoh keadaan diperlukannya pembukian saksi adalah akta
autentik dibantah kebenarannya oleh Tergugat, maka akta autentik tersebut
berubah menjadi bukti permulaan dan harus dibantu dengan minimal satu alat
bukti lain agar mencapai batas minimal alat bukti.[16]
Syarat
Formil alat bukti saksi
a)
Cakap menjadi saksi
Undang-undang
telah menetapkan bahwa tidak semua orang cakap menjadi saksi. Ketidakcakapn
tersebut dapat bersifat absolut, yaitu mereka yang digolongkan dalam pasal Pasal
145 ayat (1) HIR/174 ayat (1) RBg.
·
Keluarga sedarah dan
keluarga karena perkawinan dari salah satu pihak menurut keturunan lurus
·
Istri atau suami dari
salah satu pihak meskipun sudah bercerai
·
Anak-anak yang tidak
diketahui pasti bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun
·
Orang gila, meskipun
kadang-kadang ingatannya terang
Namun demikian, mereka yang
disebutkan dalam pasal tersebut dapat menjadi saksi dalam hal-hal tertentu,
yaitu dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut
hukum perdata atau tentang perjanjian suatu pekerjaan. Selain itu mereka dapat
pula menjadi saksi dalam hal pemeriksaan tentang gugatan nafkah yang harus
dibayar, perkara pencabutan kekuasaan orang tua atau wali, serta perkara
mengenai persetujuan perburuhan.
b)
Keterangan disampaikan
di sidang pengadilan
c)
Pemeriksaan saksi
dilakukan satu per satu
d)
Mengucapkan sumpah atau
janji sebelum memberikan kesaksian
Syarat Materil alat bukti saksi:
a)
Keterangan yang
disampaikan merupakan peristiwa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, bukan
hasil dari kesimpulan, pengamatan, dan informasi dari pihak lain
b)
Keterangan yang
diberikan harus diketahui alasan dan sumber pengetahuannya
c)
Keterangan-keterangan
para saksi harus bersesuaian satu sama lain
Kekuatan
pembuktian alat bukti saksi di persidangan adala kekuatan pembutian bebas.
Artinya, terhadap kesaksian yang diberikan para saksi di persidangan, hakim
bebas untuk menilai kkekuatan pembuktiannya. Kesaksian para saksi akan dinilai
oleh hakim dalam apakah kesaksian tersebut mampu mengungkap pokok permasalahan
yang ada serta apakah dapat mendukung alat bukti lain yang diajukan para pihak.[17]
c.
Persangkaan
Ketentuan
mengenai persangkaan dalam Pasal 173 HIR/310 RBg hanya mengatur tentang
petunjuk bagi hakim dalam mempergunakan alat bukti persangkaan sebagai
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Definisi mengenai persangkaan
sendiri bdisebutkan secara cukup rinci dalampasal 1915 KuHPerdata, yaitu
kesmpulan yang oleh undang-undnag atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa
yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.[18]
Persangkaan
menurut pasal 1915 KUHPer terbagi atas dua jenis:
1)
Persangkaan
undang-undang
Yaitu suatu persangkaan yang berdasarkan suatu
ketentuan khusus Undang-Undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
(Pasal 1916 KUHPer)
Persangkaan
UU dibedkan atas dua macam:
·
Praesumptiones Juris Tantum,
persangkaan undang-undang yang dapat dibantah.
·
Praesumptiones Juris Et De Jure,
persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah.
Kekuatan pembuktian
persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah adalah sempurna, mengikat,
dan menentukan. Sementara itu, persangkaan undang-undang yang dapat dibantah,
jika tidak dibuktikan sebaliknya, memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan
mengikat, akan tetapi jika dibantah oleh lawan, maka kekuatan pembuktiannya
turun menjadi bukti permulaan.[19]
2)
Persangkaan hakim
Yaitu
persangkaan yang didasarkan pada kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta
yang terbukti dalm persidangan.[20]
Contoh
untuk pesangkaan mengenai persangkaan adanya perzinaan yang didasarkan pada
bukti keterangan saksi yang menyatakan bahwa seorang pria dan seorang wanita
yang bukan suami istri berada di dalam
satu kamar yang tertutup telah cukup untuk menimbulkan persangkaan hakim telah
terjadi perzinaan di antara mereka.[21]
Kekuatan
pembuktian persangkaan hakim pada dasarnya adalah bebas. Jika persangkaan hakim
tersebut tidak dilawan atau dilumpuhkan oleh bukti lain, maka kekuatan
pembuktiannya menjadi sepurna dan mengikat.[22]
d.
Pengakuan
Pengakuan
adah pernyataan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam persidangan bahwa
apa yang didalilkan pihak lawan adalah benar.
Pasal
1926 KUHPerdata menegaskan bahwa pengakuan yang telah diucapkan salah satu
pihak dalam persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika terbukti
bahwa pengakuan tersebut dilakukan atau diucapkan akibat suatu kekeliruan
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Pengakuan,
selain diucapkan di dalam persidangan juga kadangkala diucapkan di luar
persidangan. Mengenai hal ini, Pasal 175 HIR mengaturnya sebagai berikut:
“Diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim untuk menentukan nilai
suatu pengakuan dengan lisan yang dilakukan di luar persidangan.”
Jenis-jenis
pengakuan:[23]
·
Pengakuan murni
Yaitu
pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh
Penggugat. Dalam pengakuan yang murni, tidak terselip pengingkaran sekecil
apapun terhadap dalil dan tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.
·
Pengakuan
berkualifikasi
Yaitu
pengakuan dalil gugatan Penggugat yang diikuti dengan syarat atau sangkalan
terhadap sebagian dalil gugatan.
·
Pengakuan berklausula
Yaitu
pengakuan atas sebagian dalil gugatan Penggugat yang diringi dengan pernyataan
atau klausula yang membebaskan.
Kekuatan
pembuktian murni dan bulat adalah sempurna, mengikat, dan menetukan. Sementara
itu kekuatan pembuktian berkualifikasi dan erklausula adalah kekuatan
pembuktian bebas.[24]
e.
Sumpah
Sumpah
adalah keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan
agar orang memberikan keterangan tersebut takut akan murka Tuhan jika dia
berbohong.
Syarat
formil sumpah:
·
Ikrar diucapkan dengan
lisan
·
Diucapkan di muka hakim
dalam persidangan
·
Dilaksanakan di hadapan
pihak lawan
Jenis-jenis sumpah:[25]
·
Sumpah pemutus
(decisoir)
Diminta
salah satu pihak kepada pihak lawan, alat bukti kuat yang menetukan putusan,
dapat dikembalikan, dilakukan dalam tiap keadaan.
·
Sumpah pelengkap
(suppletoir)
Diminta
oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak), merupakan alat bukti
tambahan, tidak dapat dikembalikan, hanya dilakukan apabila telah ada bukti
permulaan bukti.
·
Sumpah penaksir (aestimatoir)
Diangkat
oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka
menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang
tertentu yang disengketakan.
Kekuatan pembuktian
sumpah pemutus adalah sempurna, mengikat, dan menentukan. Mengenai kekuatan
pembuktian sumpah pelengkap dan sumpah penaksir, pakar hukum masih berbeda
pendapat. Sebagian pakar berpendapat bahwa kekuatan sumpah pelengkap dan sumpah
penaksir hanya sempurna dan mengikat, tidak menentukan, karena masih
memungkinkan diajukannya bukti lawan.[26]
[1] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 24-28.
[2] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2013, h. 10-11.
[3]
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 11-12.
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Kencana, 2006, h. 231.
[5]
Moh. Taufik Makarab, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004, h. 95-96.
[6] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 48.
[7]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, h. 13-1341.
[8] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 32-53.
[9] M. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, Sinar
Grafika: Jakarta, 2005, h.
589-590.
[10] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 54.
[11] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 56.
[12] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 57-58.
[13] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 59.
[14] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 59-60.
[15] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 60.
[16] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 62.
[17] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 66.
[18] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 67.
[19] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 71-72.
[20] M.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika: Jakarta, 2005, h. 696.
[21] Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi, Jakarta: Kencana, 2012, h. 72.
[22] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 73-74.
[23] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 75-77.
[24] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 81.
[25]
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi, Jakarta: Kencana, 2012, h. 74.
[26] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2013, h. 94-95.
Komentar
Posting Komentar