Aspek Ontologis
Aspek ontologis anatara lain mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dari realitas. Berbicara realitas ada yang mengatakan bahwa inti realitas sebagai materi. Sementara yang lain melihatnya sebagai ide (gagasan). Pandangan monistis yang hanya memilih salah satu dari alternatif diatas, ditentang oleh aliran dualism yang menegakkan hakikat realitas justru keduanya sekaligus.
Aspek ontologis anatara lain mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dari realitas. Berbicara realitas ada yang mengatakan bahwa inti realitas sebagai materi. Sementara yang lain melihatnya sebagai ide (gagasan). Pandangan monistis yang hanya memilih salah satu dari alternatif diatas, ditentang oleh aliran dualism yang menegakkan hakikat realitas justru keduanya sekaligus.
Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala seseuatu yang “ada” itu adalah materi. Materialisme kemudian berkembang seperti Materialisme-rasionalistis, Materialisme-parsial, Materialisme-antropologis, Materialisme-dialektis atau Materialisme-historis. Pandangan yang bertolak belakang dari Materialisme adalah Idealisme. Menurut Idealisme, hakikat “pengada” itu justru unsur rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide, bukan dunia materi.
Bernardo Benadi, yang kemudian direduksi oleh Soejono Poepowardjo, dengan membagi fenomena dengan membagi fenomena kebudayaan dalam empat factor dasar, yaitu Anthropos, oikos, tekne dan ethnos.
1. anhropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah makhluk rasional yang sudah selesai dan sempurna.
2. Oikos adalah universum kosmis, yakni lingkungan alam tempat manusia melakukan proses kreativitasnya
3. tekno adalah tekne, yaitu peralatan yang digunakan manusia sebagai perpanjangan tangan untuk membantunya mengolah kehidupan ini.
4. ethnos, yaitu manusia sebagai komunitas.
2. Oikos adalah universum kosmis, yakni lingkungan alam tempat manusia melakukan proses kreativitasnya
3. tekno adalah tekne, yaitu peralatan yang digunakan manusia sebagai perpanjangan tangan untuk membantunya mengolah kehidupan ini.
4. ethnos, yaitu manusia sebagai komunitas.
Aspek Epistemologis
Manusia
dapat mengembangkan pengetahuannya karena memiliki dua modal utama, yaitu
bahasa yang komunikatif dan kemampuan berpikir menurut kerangka tertentu. Dengan
dua modal tersebut manusia dapat melakukan kegiatan berpikir (kognitif) untuk menemukan
pengetahuan yang benar. Proses kegiatan berpikir ini disebut dengan penalaran.
Penalaran
pada hakikatnya digunakan pada semua lapangan kehidupan manusia. Pada galibnya,
orang membatasi kegiatan penalaran pada kegiatan rasional. Namun, penalaran
tidak mungkin dilakukan dengan modal logika belaka, sehingga logika harus pula
dibantu oleh disiplin lain. Bantuan ini terutama datang dari bahasa.
Bahasa
diperlukan karena objek yang dinalar adalah simbol-simbol yang lahir sebagai
produk kebudayaan manusia. Dalam praktiknya, penalaran yang mengandalkan rasio
itupun harus berkolaborasi denga modalitas lainnya, seperti intuisi dan empiri.
Empirisme
berasal dari kata empiric, yang berarti pengalaman (empeiria). Empirisme adalah
aliran dasar yang menganggap sumber satu-satunya penegetahuan bagi manusia
adalah pengalaman, tepatnya melalui obsrvasi inderawi. E. March (1838-1916)
mengatakan, bahwa dasar pengetahuan adalah pengalaman langsung dari kenyataan.
Menurutnya, kenyataan itu terdiri dari “objek-objek” yang dapat langsung
dikenal, akan tetapi terdiri dari warana, suhu, waktu dan sebagainya, yang
merupakan unsur dasar atau disebut elemen.
Kebenaran
menurut Empririsme berangkat dari pendekatan teori Korespondensi. Menurut teori
ini, suatu penyataan benar apabila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
itu berkorespodensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Pendekatan induktif yang digunakan Empirisme ditentang oleh aliran
berpikir Rasionalisme. Rasionalisme adalah aliran dasar dalam epistemology yang
menganggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah rasio (akal budi).
Kekhawatiran
terhadap berlarut-larutnya dikotomi empiri dan rasio mengundang Immanuel Kant
(1724-1804) untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut Kant, dikotomi ini
seharusnya tidak perlu ada, karena keduanya dapat saling mengisi. Apabila
Rasionalisme menekankan pada segi bentuk (formal) dan Emprisime pada segi isi
(material), maka ilmu jelas membutuhkan keduanya. Dalam rangka inilah Kant
membangun fisafat kritis yang berpedoman pada pernyataan bahwa “pemikiran tanpa
isi adalah kosong, sedangkan intuisi tanpa konsep-konsep adalah buta”.
Pendekatan
kompromis ala Kant tidak cepat popular dikalangan filsuf yang sejaman
dengannya. Kesinambungan cara berpikir dikotomis ini lalu berlanjut ke tokoh
sejaman lainnya, yaitu Karl Max (1818-1883). Menurut Karl Max, bukan rasio yang
menentukan realitas kehidupan, tetapi sebaliknya. Jadi, Rasionalisme pada Hegel
kemudian menjadi Empirisme pada Marx.
Setelah
Kritisme Kant, ada aliran lain yang dapat dikatakan cenderung mengawinan kedua
pendekatan seperti diatas, yaitu Positivisme. Positivisme sendiri dikembangkan
pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1857). Pengertian “positif” menurut Comte
salah satunya adalah: sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka
pengertian “positif” diartikan sebagai pensifata sesuatu yang sudah pasti. Hal
ini sesuai dengan ajarannya yang mengatakan bahwa filsafat harus sampai pada
suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan
masyarakat. Menutur Comte, masyarakat tahap positif adalah masyarakat paling
ideal.
Keyakinan
positivism menuai kritik karena tidak semua orang percaya pada keandalan indera
dan akal manusia. Manusia tidak akan mampu menangkap hakikat keseluruhan dari
suatu objek, jika hanya mengandalkan pada pengetahuan atas bagian-bagian
teretentu dari objek itu. Disinilah peran intuisi.
Ada banyak
pengertian tentang intuisi. Menurut Kant, intuisi adalah suatu data empiris
yang menentukan isi. Intuisi berkedudukan khas dan eksistensinya harus diakui
seperti halnya rasio dan empiri.
Dalam
pandangan Bergson, kunci yang membedakan intuisi dengan rasio terletak pada
konsep durasi (duration), yaitu sebuah proses yang mengalir tanpa akhir (an
endlessly flowing process); sebuah konsep yang dipungutnya dari Heraclitus
(540-480 SM).
Dalam tradisi Islam juga dikenal konsep yang
sejalan dengan intuisi. Seorang ulama besar Islam abad ke-13, Ibnu Qayyin
al-Jauziyyah (1292-1350) bahkan pernah menulis karya manuskrip yang diberi
judul Al-Firasah, yang mengisahkan cuplikan-cuplikan kejadian dalam sejarah
Islam tatkala intuisi digunakan dalam pemecahan masalah.
Aspek Aksiologis
Kiranya
sudah menjadi aksioma bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya.
Pemenuhan kepentingan inilah yang menjadi tujuan dari tindakannya, bahkan dalam
seluruh kehidupan seseorang. Jika tindakan dilatarbelakangi oleh motivasi
(kehendak), maka tentu menjadi pertanyaan besar di belakangnya tentan ada
tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan
tindakan disini adalah terutama dalam kaitannya dengan tindakan manusia dalam
melakukan penalaran, mencari pengetahuan.
Aliran
yang disebut “Religious Absolutism” termasuk
kelompok yang berpikir manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Cara berpikir tersebut
berhadapan dengan pandangan sebaliknya tentang independensi perilaku manusia.
Dalam
aspek aksiologis berikut, diasumsikan bahwa manusia adalah mahkluk yang
independen, berkehendak bebas (free will).
Sebab, hanya dengan kebebasan itulah terdapat pertanggungjawaban (baik secara
moral maupun hukum). Aspek aksiologis inipun dibagi dalam tiga kelompok pemikiran,
yaitu Idealisme-etis, Deontologisme-etis, dan Teologisme-etis.
Idealisme-etis
adalah aspek aksiologis yang meyakini bahwa ukuran baik-buruk dalam bertindak
ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual. Deontologis memang sering dianggap
sebagai aspek aksiologis yang diilhami oleh pemikiran Kant. Deontologisme
menilai baik buruk suatu tindakan dari sudut tindakan itu sendiri. Bukan dari
akibatnya. Suatu tindakan baik, apabila tindakan itu sesuai dengan aturan
(norma) positif.
Manusia
menurut Kant, adalah makhluk berbudi yang tidak sempurna. Itulah sebabnya, ia
tidak senantiasa mampu bertindak menurut prinsip-prinsip objektif karena mereka
terjebak pada keinginan atau dorongan irasional (seperti “terpaksa” bertindak
sesuai norma hanya karena sedang diawasi atau demi popularitas). Kant
menyatakan seharusnya prinsip objektif itu tidak bersifat “harus” (imperatif)
semata tetapi juga “mengharuskan” karena menjadi perintah budi (rasio) (Gebot
der Vernunft).
Ada dua macam
imperative yang terkait dengan tindakan manusia yaitu imperatif hipotesis dan
imperative kategoris. Kriteria pertama, imperatif hipotesis adalah perintah
bersyarat yaitu tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya,
prinsip-prinsip itu akan dituruti oleh seseorang jika dengan itu ia dapat
mencapai tujuan yang diinginkan. Jadi, imperative hipotesis menyatakan keharusan
praktis suatu tindakan yang mungkin sebagai sarana untuk mencapai tujuan
tertentu. Imperatif ini adalah perintah kesusilaan yang mutlak, dan semua
tindakan yang diwajibkannya adalah baik dalam arti moral.
Ross dalam
bukunya “The Right and the Good’ (1930), menerima teori Deontologi, tetapi ia
menambahkan sebuah nuansa penting didalamnya. Menurutnya setiap kewajiban
selalu dianggap sebagai kewajiban prima factie (kewajiban pandangan pertama,
atau kewajiban yang sementara berlaku sampai timbul kewajiban yang lebih
penting yang mengalahkannya). Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi
tentang kewajiban-kewajiban itu. Sekalipun demikian, Ross berpendapat manusia
tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam menghadapi situasi
konkret.
Deontologis-etis
tidak menuntut kepatuhan setinggi yang dipersyaratkan imperative-kategoris.
Baik Idealisme-etis maupun Deontologis-etis sama-sama berpegang pada penilaian
bahwa baik-buruk tindakan manusia ditentukan oleh koherensi tindakan itu dengan
asas atau norma yang berlaku. Hanya saja, dalam Idealisme-etis asas atau norma
tersebut bersifat self-evident yang sebagian besar dapat dipahami langsung
secara intuitif. Sementara, pada Deontologisme-etis dituntut adannya koherensi
antara tindakan itu dengan tataran norma yang dipahami secara lebih rasional.
Apabila dimensi aksiologis dari Idealisme-etis berkerucut pada pencarian
keadilan, maka Deontolgisme-etis bermuara pada kepastian.
Teologisme-etis
Menurut Sonny Keraf memuculkan dua subpemikiran, yaitu Egoisme dan Utilitarianisme.
Inti dari pandangan Egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada
dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya
sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap
pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan diri sendiri. Dari
sini kemudian terdapat pembedaan antara Egoisme-etis dan Egoisme-psikologis.
Egoisme-etis
dapat didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan bahwa satu-satunya
tolak ukur mengenai baik-buruk suatu tindakan seseorang adalah kewajiban untuk
mengusahakan kebahagiaan dalam kepentingannya diatas kebahagiaan dan
kepentingan orang lain. Egoisme juga dapat berbelok ke arah yang negatif
apabila secara psikologis tetananam bahwa tujuan dan kepentingan pribadi adalah
segala-galanya, sehingga tujua menghalalkancara (end jusify the means). Sisi
negatif inilah yang menjadi inti pemikiran Egoisme-psikologis.
Utilitarianisme
melihat kepada tujuan atau kepentingan masyarakat. Apabila ada pertentangan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial, maka kepentingan orang
banyak inilah yang harus didahulukan. Cara berpikir ini diintroduksi oleh
Jeremy Bentham (1748-1832) yang dimasukka kedalam gerakan Radikalisme-filosofis
Abad ke-19 di Inggris.
Sumber
Judul Buku : Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Penulis : Shidarta
Penerbit : GENTA Publishing
Judul Buku : Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Penulis : Shidarta
Penerbit : GENTA Publishing
Komentar
Posting Komentar